Kebanyakan kaum wanita Gorontalo menjadi buruh menyulam karawo.
Mereka menerima kain dan benang dari pemilik modal. Besaran upah ditentukan oleh tingkat kesulitan pekerjaan dan besar kecilnya bidang kain yang disulam, demikian juga yang dialami oleh para perempuan Desa Dumati.
“Yang sulit itu mengiris serat dan menyulam di kain sutra, tidak semua perajin karawo mampu. Jika dipaksakan kain bisa rusak dan perajin tidak akan dipercaya lagi,” tutur Maryam.
Umumnya para perajin sulaman karawo bekerja di kala waktu senggang seusai melaksanakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
Setelah memasak dan membersihkan rumah, mereka mengambil midangan, benang, dan jarum untuk menyulam. Ini dilakukan setiap hari. Bahkan jika pekerjaannya banyak mereka masih menyempatkan menyulam di waktu malam meskipun dengan penerangan lampu yang membuat sepet mata.
Setelah puluhan tahun menekuni dan berjuang menghasilkan karya sulaman yang indah, para perajin saat ini bisa sedikit bergembira.
Baca juga: Apa Itu Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Diusulkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO?
Pasalnya, pemerintah telah melirik sulaman karawo sebagai komoditas ekonomi dan juga sebagai identitas budaya Gorontalo.
Sulam karawo saat ini sudah tidak sekadar penghias taplak meja, sapu tangan, atau baju koko manual yang dikenakan saat takziah.
Sulaman ini telah mengalami perkembangan yang signifikan, hiasannya menghiasi baju kantor, seragam siswa, gaun malam, baju pesta, hingga hiasan dinding di ruang publik yang adem.
Baca juga: Jadi Warisan Budaya Tak Benda, Apa Beda Tempe Mendoan dengan Tempe Goreng Biasa?
Arfa Hamid, seorang pensiunan yang puluhan tahun menekuni sulaman ini menceritakan kelahiran sulaman karawo.
“Saya pernah membaca buku Sejarah karawo yang ditulis Pak Hamzah Neu Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Gorontalo di tahun 1980-an, karawo muncul di tahun 1917,” ujar dia.
Arfa menjelaskan, karawo di Gorontalo lahir dari kerajinan kristik (berasal dari bahasa Belanda kruissteek).
Baca juga: UNESCO Tetapkan Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Para perempuan Belanda menghabiskan waktu dengan membuat sulaman kristik.