GORONTALO, KOMPAS.com – Dengan tekun, Maryam Saleh (47), seorang perempuan dari Desa Dumati Kabupaten Gorontalo memasukkan jarum dan benang pada bidang kain yang telah diiris sejumlah seratnya.
Jarum yang membawa benang ini menjelujuri serat-serat kain yang halus.
Sesekali matanya melirik pada kertas yang memiliki pola gambar bunga. Tidak sulit baginya di saat matahari bersinar terik dan memberi penerangan yang dibutuhkan.
Maryam Saleh adalah perajin karawo, sebuah sulaman tradisional masyarakat Gorontalo yang ditekuni kaum wanita dan memberi penghidupan bagi ribuan keluarga.
“Saya mewarisi tradisi dan keterampilan ini dari orangtua, sejak kelas dua atau tiga sekolah dasar (SD) saya sudah dibiasakan membuat sulaman ini,” ujarnya, Minggu (30/6/2024).
Baca juga: Kisah Perjuangan Rhafi Sukma, Anak Tukang Deres yang Berhasil Diterima di 6 Universitas Luar Negeri
Ia tidak tahu kapan sulaman ini mulai ada, yang dirinya ingat adalah neneknya juga menekuni sulaman tersebut.
Saat kecil, Maryam menyaksikan ibu dan neneknya membuat sulaman karawo pada selembar kain polos.
“Dulu produk karawo untuk taplak meja, sapu tangan dan kipas, ada juga yang untuk baju,” tutur dia.
Baca juga: Mengintip Kehangatan Kampung Perajin Peci di Kebumen, Warisan Budaya yang Terus Berkembang
Baca juga: Mengenal Karawo, Sulaman Paling Rumit di Dunia Khas Gorontalo, Keindahannya Memukau
Seorang wanita tengah menyulam karawo di arena Kumpul Komunitas Karawo yang dilaksanakan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVII Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Ia mengingat bagaimana sulitnya sulaman ini menjadi sapu tangan yang dijual seharga Rp 5.000 per buah.
Kesulitan menjualnya, tidak hanya dialami oleh orangtua Maryam Saleh. Namun, juga oleh banyak perajin sulaman karawo di Gorontalo.
Bagi banyak perajin karawo, sulaman ini memiliki nilai ekonomi meskipun belum seperti yang diharapkan.
Baca juga: Mengenal Karawo, Sulaman Paling Rumit di Dunia Khas Gorontalo, Keindahannya Memukau
Sulaman ini menjadi alternatif yang memberi sumber penghidupan di saat penghasilan dari kegiatan pertanian keluarga belum memberi hasil.
Meskipun dibayar murah, hasil menyulam telah mampu membeli beras dan keperluan rumah tangga lainnya.
Desa Dumati adalah desa yang warganya banyak mengandalkan sektor pertanian, namun kondisi tanahnya yang berbukit kapur tidak banyak memberi hasil. Jagung dan tanaman hortikultura lainnya menjadi andalan utama bercocok tanam.
Baca juga: Subak, Kearifan Lokal Bali untuk Kelola Air yang Terjaga Ribuan Tahun
Kebanyakan kaum wanita Gorontalo menjadi buruh menyulam karawo.
Mereka menerima kain dan benang dari pemilik modal. Besaran upah ditentukan oleh tingkat kesulitan pekerjaan dan besar kecilnya bidang kain yang disulam, demikian juga yang dialami oleh para perempuan Desa Dumati.
“Yang sulit itu mengiris serat dan menyulam di kain sutra, tidak semua perajin karawo mampu. Jika dipaksakan kain bisa rusak dan perajin tidak akan dipercaya lagi,” tutur Maryam.
Umumnya para perajin sulaman karawo bekerja di kala waktu senggang seusai melaksanakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
Setelah memasak dan membersihkan rumah, mereka mengambil midangan, benang, dan jarum untuk menyulam. Ini dilakukan setiap hari. Bahkan jika pekerjaannya banyak mereka masih menyempatkan menyulam di waktu malam meskipun dengan penerangan lampu yang membuat sepet mata.
Setelah puluhan tahun menekuni dan berjuang menghasilkan karya sulaman yang indah, para perajin saat ini bisa sedikit bergembira.
Baca juga: Apa Itu Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Diusulkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO?
Pasalnya, pemerintah telah melirik sulaman karawo sebagai komoditas ekonomi dan juga sebagai identitas budaya Gorontalo.
Sulam karawo saat ini sudah tidak sekadar penghias taplak meja, sapu tangan, atau baju koko manual yang dikenakan saat takziah.
Sulaman ini telah mengalami perkembangan yang signifikan, hiasannya menghiasi baju kantor, seragam siswa, gaun malam, baju pesta, hingga hiasan dinding di ruang publik yang adem.
Baca juga: Jadi Warisan Budaya Tak Benda, Apa Beda Tempe Mendoan dengan Tempe Goreng Biasa?
Arfa Hamid, seorang pensiunan yang puluhan tahun menekuni sulaman ini menceritakan kelahiran sulaman karawo.
“Saya pernah membaca buku Sejarah karawo yang ditulis Pak Hamzah Neu Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Gorontalo di tahun 1980-an, karawo muncul di tahun 1917,” ujar dia.
Arfa menjelaskan, karawo di Gorontalo lahir dari kerajinan kristik (berasal dari bahasa Belanda kruissteek).
Baca juga: UNESCO Tetapkan Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Para perempuan Belanda menghabiskan waktu dengan membuat sulaman kristik.
Kristik menggunakan media kain yang memiliki lubang berbentuk kotak dengan ukuran yang sama. Kotak-kotak ini disulami dengan teknik tusuk silang yang membentuk hurif X.
Hasil kerajinan kristik yang lazim dikenal adalah hiasan dinding, juga ada hiasan pada baju atau peralatan rumah tangga.
Baca juga: Selain Pencak Silat, Ini 9 Budaya Indonesia yang Masuk Warisan Budaya Tak Benda
Dari kerajinan kristik yang dilakukan wanita Belanda ini para perempuan Gorontalo dari kalangan atas mengadopsi.
Perempuan bangsawan ini kemudian membuat pola kristik dari selembar kain putih. Serat-serat kain diiris, baik yang vertikal maupun yang horisontal, persilangan kain yang tersisa diikat sehingga membentuk bidang seperti media kain kristik.
“Makanya dulu hanya ada satu warna, baik kain maupun benangnya. Karena benang sisa serat kain itu digunakan lagi untuk menyulam,” tutur Arfa.
Baca juga: Silat Malaysia Juga Masuk Warisan Budaya Tak Benda, Apa Bedanya dengan Pencak Silat Indonesia?
Dari keterampilan inilah kemudian lahir sulaman karawo yang dikenal hingga saat ini.
Bedanya sulaman sekarang berkembang pesat dengan ragam media kain, termasuk kain sutra. Demikian juga dengan benang yang digunakan tidak lagi memakai benang sisda irisan serat kain, namun sudah diganti dengan ragam benang yang lebih bagus dari sisi warga dan bahannya. Sehingga padu padan warga, pola, dan desain menawarkan pesona keindahan sulaman karawo.
Sebagai produk budaya yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sulaman karawo menjadi aset penting dalam mengembangkan perekonomian daerah.
Baca juga: INFOGRAFIK: Pencak Silat, Warisan Budaya Tak Benda
Karawo telah menjadi alat distribusi pendapatan dan kesejahteraan ke banyak perajin dan pedagang di pelosok Gorontalo.
Terlebih saat Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo bersama Masyarakat Fotografi Gorontalo (MFG) dan Jurusan Teknik Kriya Universitas Negeri Gorontalo pada 2010 merintis pemuliaan komoditas dan identitas budaya ini hingga lahir Festival Karawo setahun kemudian yang berlanjut hingga saat ini.
Sebagai produk kebudayaan, sulaman karawo memiliki nilai budaya dan ekonomi.
Baca juga: 10 Warisan Budaya Dunia UNESCO di Indonesia, Terbaru Sumbu Filosofi
Karawo telah menjadi identitas Gorontalo, dan menyumbang kekayaan wastra Nusantara.
Pewarisan kerajinan penting ini mendapat dukungan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVII yang memiliki wilayah kerja di Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo.
BPK XVII mengumpulkan para perajin karawo yang telah mengikuti kurasi pada program kumpul komunitas karawo yang berlangsung di Danau Perintis Kecamatan Suwawa, Minggu (30/6/2024).
Perajin seperti Maryam Saleh dari Desa Dumati bertemu saling belajar antar komunitas dan menyajikan atraksi proses pembuatan sulaman karawo mulai dari pembuatan pola dan desain, pengirisan serat kain dan penyulaman.
“Kumpul komunitas karawo ini diikuti enam komunitas karawo yang terpilih dari kabupaten dan kota di Provinsi Gorontalo. Bentuk kegiatan berbetuk praktik atau workshop proses pembuatan sulaman karawo,” kata Sri Sugiharta, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVII.
Baca juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta Miliki Potensi Bencana, Apa Saja?
Atraksi para perajin karawo ini menarik perhatian para pengunjung obYek wisata Danau Perintis. Mereka disuguhi fesyen adibusana karawo dari enam kelompok desa perajin karawo.
“Kami menggelar lomba menyulam karawo, mulai dari membuat desain dan pola, mengiris serat kain dan menyulamnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat bagaimana proses penyulaman karawo dilakukan,” ujar dia.
Sri Sugiharta berharap proses pembuatan karawo ini menjawab keingintahuan masyarakat yang selama ini hanya mengetahui sulaman karawo dari baju yang sudah jadi atau bahkan dari selembar kain yang dijual di toko.
Di arena kumpul komunitas karawo ini BPK Wilayah XVII menunjukkan bagaimana pewarisan pengetahuan dan teknologi tradisional kepada generasi muda.
Baca juga: 10 Tempat Bersejarah di Indonesia, Ada Warisan Budaya UNESCO
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.