GORONTALO, KOMPAS.com – Bencana banjir bandang hingga Selasa (23/7/2024) belum berhenti menerjang Provinsi Gorontalo, Sulawesi Selatan.
Selama lebih dari dua pekan, warga yang mendiami pesisir Danau Limboto terdampak luapan air danau, bahkan masih banyak yang mengungsi karena rumah mereka terendam.
Hari ini, di wilayah Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo banjir menerjang permukiman warga dan fasilitas publik seperti sekolahan.
Ikraeni Safitri pengajar di Program Studi Konservasi Hutan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo mengatakan, bencana banjir bandang di Gorontalo dipicu beberapa faktor.
“Salah satunya adalah perubahan tutupan lahan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, sehingga menyebabkan aliran permukaan lebih besar dibandingkan proses infiltrasi,” kata Ikraeni dihubungi Selasa (23/7/2024).
Selain itu, banjir bandang Gorontaro juga disebabkan perubahan iklim yang nyata terjadi saat ini, keadaan topografi Gorontalo, serta kondisi drainase yang tidak memadai.
Dengan melihat kondisi ini, Ikraeni berharap pemerintah dan masyarakat menyadari dan dapat mengambil solusi untuk mengatasi masalah bencana yang setiap saat mengancam, warga.
Banjir bandang di Gorontalo bukanlah banjir tahunan. Namun setiap kali hujan turun dengan intensitas sedang hingga lebat, dipastikan Gorontalo terendam banjir.
Ditambah lagi, Kota Gorontalo merupakan dataran lembah yang menjadi tempat mengalirnya air sebelum ke laut Teluk Tomini.
Kota Gorontalo dikelilingi perbukitan dengan batuan yang tidak menyerap air, diperparah dengan praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan.
Di lereng-lereng bukit banyak ditanami jagung tanpa ada upaya membuat terasering.
Ikraeni berharap, ada upaya pengembalian fungsi lahan sebagai daerah penyangga dalam menyimpan air, perbaikan drainase dan masyarakat harus beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Baca juga: Cegah Banjir Berulang di Gorontalo, BNPB Tawarkan Modifikasi Cuaca
Ia menyoroti praktik pertanian jagung yang lazim di daerah ini.
Tanaman pertanian seperti jagung tidak dianjurkan untuk daerah penyangga karena perakaran kecil sehingga aliran air di atas tanah tidak masuk di dalam tanah. Aliran air ini langsung ke bawah dengan membawa volume lumpur, saat di sungai volume lumpur semakin membesar.
“Kami menyarankan praktik polikultur dengan menggunakan sistem agroforestry,” ujar Ikraeni.