MAKASSAR, KOMPAS.com - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Sulawesi Selatan semakin meningkat sepanjang 2025, salah satunya disebabkan oleh menurunnya harga nikel dan efisiensi anggaran dari perusahaan.
“Akhir-akhir ini ada kecenderungan sejumlah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawannya,” kata Kadisnakertrans, Jayadi, kepada wartawan, Kamis (11/12/2025).
Pada tahun 2025, tercatat ada 2.486 orang yang dipecat.
Angka ini meningkat dibanding tahun 2024, yang hanya 126 orang.
Kasus PHK sepanjang 2025 ini terbesar pada Oktober, yang mencapai 600 orang, sehingga Sulsel menempati posisi ke-6 angka PHK tertinggi di Indonesia.
Baca juga: Bangkit dari PHK, Tatik Irawati Sukses Bangun Usaha Jasa Pendamping Pasien di Semarang
“Dibandingkan tahun lalu, ini peningkatan jumlah yang cukup lumayan karena kemarin itu tidak sampai 4 digit, ini sudah masuk di 4 digit. Ribuan jumlah tenaga kerja kita yang kena PHK itu yang melapor,” ujarnya.
Jayadi mengatakan bahwa PHK yang dilakukan sejumlah perusahaan disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasar, seperti pengurangan tenaga kerja karena kondisi keuangan perusahaan tersebut yang mengalami efisiensi.
“Mereka diperhadapkan pada kondisi keuangan di perusahaan yang mungkin efisiensi anggaran, sehingga mau tidak mau jalan keluarnya tentu mengurangi tenaga kerja,” ungkapnya.
Selain itu, perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK ini juga diperhadapkan pada kondisi suasana perekonomian global terkait perseteruan antar negara, sehingga menurutnya pasokan yang dibutuhkan perusahaan tersebut untuk masuk ke Indonesia berkurang.
Salah satu contohnya, kata Jayadi, yaitu perusahaan tambang yang bahan bakunya tidak selancar tahun sebelumnya, kemudian harganya yang meningkat, sehingga perusahaan merasa rugi dan tidak dapat berproduksi kembali.
Baca juga: PHK di Jabar Tembus 15.657 Kasus, Dedi Mulyadi Soroti Besarnya Industri dan Populasi
Kadisnakertrans, Jayadi Nas di Makassar, Kamis (11/12/2025)“Sehingga dia tidak bisa berproduksi, misalnya perusahaan-perusahaan smelter untuk melakukan aktivitas karena bahan baku untuk proses di smelter untuk nikel itu menurut mereka sangat kurang. Itu alasan yang disampaikan,” bebernya.
Ada juga perusahaan yang pabriknya tidak beroperasi secara normal, karena harga jual produknya sangat rendah, hingga mengakibatkan pengurangan terhadap karyawan di pabrik tersebut.
“Anggaplah misalnya ada beberapa tungku yang tidak beroperasi, dari sebelumnya 8 tungku menjadi tinggal 2 tungku. Maka akan ada 6 tungku lainnya yang tidak beroperasi, sehingga mengakibatkan tenaga kerja di 6 tungku itu mau tidak mau dirumahkan atau PHK,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, banyak karyawan yang resign dari pekerjaannya karena mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan, dan memilih untuk membuka usaha sendiri dari hasil pengalaman di pabrik tempat kerjanya.
Menurutnya, saat ini perusahaan di Sulsel hanya menunggu proses dan melihat peluang-peluang yang memungkinkan usaha tersebut dapat bangkit kembali.