Acara Mappadendang ini biasanya dilakukan di lapangan terbuka dan dimulai setelah maghrib atau malam hari.
Mappadendang tak hanya sebagai wujud rasa syukur, namun juga sebagai cara memupuk rasa persaudaraan.
Mattojang atau permainan ayunan raksasa merupakan sebuah tradisi khas masyarakat Bugis yang cukup menarik.
Tradisi ini tak hanya berfungsi sebagai ritual pemujaan atau persembahan kepada manusia pertama dalam kepercayaan mitologis Bugis, tapi juga bermakna hiburan dan ajang uji nyali dan keberanian.
Dalam tatanan linguistik Bugis, Mattojang berasal dari kata "tojang" yang berarti ayunan. Sementara secara kultural, istilah Mattojang diartikan sebagai permainan berayun atau berayun-ayun
Mattojang tidak dapat dilepaskan dari legenda masyarakat Bugis terkait proses turunnya manusia pertama yaitu Batara Guru dari Botting Langi’ (Negeri Khayangan) ke Bumi.
Batara Guru dalam mitos kebudayaan Bugis adalah nenek dari Sawerigading, ayah dari La Galigo yang merupakan tokoh mitologi Bugis yang melahirkan mahakarya dunia yakni kitab La Galigo.
Menurut kepercayaan masyarakat Bugis, Batara Guru turun dari Kayangan dengan menggunakan Tojang Pulaweng yang berarti ayunan emas.
Legenda inilah kemudian berkembang dan menjadi bagian dari prosesi adat Mattojang.
Mappacci adalah adat dalam pernikahan Suku Bugis yang dilakukan sebelum akad nikah atau ijab kabul.
Mappacci atau Mappaccing berasal dari kata "Paccing" yang berarti bersih, yang dimaksudkan untuk membersihkan semua hal yang menghambat pernikahan.
Tradisi Mappacci dihadiri oleh segenap keluarga dengan melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi.
Peralatan Mappacci yaitu pacci, daun kelapa, daun pisang, bantal, gula, sarung sutera, lilin, dan masih banyak lagi.
Prosesi Mappacci telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang dengan berbagai makna dan nasehat yang baik bagi kedua mempelai.