"Seluruh bukti telah saya simpan secara rapi selama tiga tahun terakhir dan kini telah diserahkan kepada aparat penegak hukum," kata Q kepada awak media.
Ia juga memastikan bukti asli percakapan tetap tersimpan di perangkat pribadinya untuk keperluan pemeriksaan digital forensik.
Dosen yang telah mengabdi di UNM sejak 2015 itu menuturkan, dirinya berulang kali menolak ajakan tersebut dengan cara yang sopan.
Tak hanya menolak, Q bahkan mengaku pernah mengingatkan agar perilaku yang dituduhkan itu segera dihentikan. Namun, ajakan serupa tetap berulang hingga tahun 2024.
Karena posisi terlapor adalah pimpinan tertinggi di kampus, Q merasa jalur penyelesaian internal berpotensi tidak objektif dan rawan konflik kepentingan.
"Kami memilih melapor ke Polda Sulsel dan Itjen Kemendikbudristek sebagai langkah hukum yang resmi," terangnya.
Mengenai alasan baru melapor setelah lebih dari dua tahun, Q mengaku membutuhkan waktu untuk mengumpulkan bukti yang lengkap sekaligus keberanian untuk melangkah.
"Langkah ini ditempuh untuk memastikan laporan tidak hanya berupa cerita, melainkan benar-benar didukung bukti kuat yang dapat diuji secara hukum," beber dia.
Diketahui, kasus ini mencuat ke publik setelah dosen wanita berinisial Q, melaporkan Prof Karta Jayadi ke Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek.
Dugaan pelecehan disebut tidak dilakukan secara fisik, melainkan melalui pesan percakapan di aplikasi WhatsApp.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, laporan resmi dilayangkan pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Dalam aduannya, korban meminta Itjen Kemendikbudristek segera turun tangan melakukan investigasi independen.
Tidak hanya itu, korban juga menuntut agar kementerian memberikan perlindungan hukum dan psikologis bagi dosen Q.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang