Banyak pula perkawinan usia anak yang terjadi karena anak putus sekolah dan orang tuanya sudah tidak mampu. Dan, lanjutnya, masih ada orang tua yang beranggapan bahwa menikahkan anak merupakan solusi untuk melepaskan tanggung jawab.
“Menikahkan dengan dalih tanggung jawabnya berpindah ke suami dan bukan lagi tanggung jawab orang tuanya,” ungkap Meisy.
Padahal, pernikahan siri akan memberi dampak besar kepada anak.
Selain sulit mendapat kartu keluarga, terdapat frasa “anak di luar pernikahan” dalam akta kelahiran yang bisa menjadi beban moral untuk anak, sulit mendapat jaminan sosial dan sulit mendapat warisan bila terjadi perceraian atau kematian.
Baca juga: Dispensasi Nikah di NTB Capai 710 Kasus, Menko PMK Minta Pemda Selesaikan Masalahnya
Yang lebih mengkhawatirkan, jika anak yang dinikahkan sudah harus berkeluarga namun tidak memiliki kapasitas untuk menjadi orang tua.
“Ada yang laki-laki belum tamat [sekolah], perempuan belum tamat [sekolah]. Bagaimana menafkahi keluarga, mengasuh anak, membina relasi dengan pasangan?” tukas Meisy.
Ketidakmampuan dan ketidaksiapan secara finansial, emosional dan psikologis juga dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dapat memicu perceraian.
“Kalau kembali ke orang tua, orang tuanya miskin. Bukannya tambah membebani keluarganya?” kata Meisy. Dia pun kerap melihat kasus perceraian terjadi begitu cepat setelah pernikahan.
“Ada yang cuma setahun kemudian bercerai dan kembali menjadi beban lagi ke orang tuanya.”
Baca juga: Soal Dispensasi Nikah Tertinggi di Jatim, Bupati Malang: Ini Tidak Hanya karena Putus Sekolah
Usia Santi kini memang sudah tidak di bawah umur lagi. Namun empat tahun setelah pernikahan sirinya, Santi belum memiliki buku nikah. Yang ia punya hanya surat keterangan nikah dari KUA yang diperolehnya saat mendaftarkan pernikahannya pada 2019 lalu.
Anaknya kini sudah sekolah, di taman kanak-kanak. “Ada akta kelahirannya, ada kartu keluarga juga, tulisannya ‘kawin tidak tercatat’.”
Santi sendiri tak meneruskan pendidikan. Bersama suami dan anaknya, dia tinggal menumpang di rumah mertuanya.
Santi mengaku perjalanan rumah tangganya kerap diwarnai dengan pertengkaran. “Saya sudah pernah lari dari rumah,” ia mengaku.
Sementara Tika untuk sementara harus berhenti sekolah.
“Dirumahkan dulu sementara, selesai melahirkan baru lanjut sekolah,” ujar Tika.
Menurut Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sulsel, Meisy Papayungan, pemerintah telah membuat aturan agar semua anak yang putus sekolah akibat kehamilan yang tidak diinginkan bisa kembali masuk sekolah.
“Dari BKKBN, Kementerian Kesehatan juga mensosialisasikan bahaya dan risiko perkawinan anak,” katanya.
Untuk mengatasi perkawinan anak dengan cara siri, Meisy mengusulkan supaya dibangun sistem deteksi dini dan sistem pelaporan masyarakat.
“Kalau misalnya, ada yang menikah di situ, dicatat, dilaporkan. Sehingga untuk jangka waktu tertentu, misalnya sudah lewat 19 tahun, itu bisa [melakukan] isbat nikah,” kata dia.
Baca juga: Ketua DPRD Indramayu Sebut Tingginya Dispensasi Nikah Anak Tamparan Keras dan Petaka
Sementara itu, Kepala UNICEF Wilayah Sulawesi dan Maluku, Henky Widjaja, mengatakan salah satu cara untuk menekan perkawinan siri adalah dengan memperketat perizinan oleh imam desa.
“Pendekatan secara kelembagaan adalah melalui bupati yang berwenang di dalam penunjukan dan pengangkatan imam desa yang berperan sebagai penghulu dalam perkawinan,” katanya.
-
Wartawan di Makassar, Muh Aidil, berkontribusi untuk laporan ini.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.