MAKASSAR, KOMPAS.com - Masjid Jami’ Nurul Mu’minin, sebuah masjid tua yang menjadi saksi bisu perkembangan Islam di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masih berdiri kokoh hingga kini.
Meskipun tampil sederhana, masjid ini memancarkan keindahan arsitektur dan nilai spiritual yang mendalam.
Terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, masjid ini berada tepat di samping Kantor DPRD Sulawesi Selatan.
Selain sebagai tempat ibadah bagi masyarakat setempat, masjid ini juga memiliki nilai sejarah yang erat kaitannya dengan perkembangan Islam dan Kerajaan Gowa.
Baca juga: Tradisi Masjid Syuhada, Sediakan Buka Puasa dengan Menu Khas Nusantara
Ketua Pengurus Masjid Jami’ Nurul Mu’minin, Muhammad Ridwan Gassing, menjelaskan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1835.
Sebelum menjadi masjid, lokasi tersebut merupakan tempat persinggahan Raja Gowa, Sultan Muhammad Zainal Abidin (1825-1826 M), saat dalam perjalanan menuju Kerajaan Tallo.
"Jadi masjid ini sebenarnya adalah peninggalan Kerajaan Gowa. Di masa kepemimpinan Sultan Muhammad Zainal Abidin, beliau ketika dari Gowa ke Kerajaan Tallo singgah dulu di tempat ini," kata Ridwan kepada Kompas.com, Sabtu (8/3/2025).
Ridwan menceritakan, dalam perjalanan menuju Kerajaan Tallo, Sultan Muhammad Zainal Abidin hendak melaksanakan shalat dzuhur.
Namun, saat itu lokasi tersebut masih berupa tempat duduk sederhana yang dikenal dalam istilah Makassar sebagai "Bale-bale".
Baca juga: Mau Ngabuburit Sambil Terapi Ikan Gratis? Datangi Masjid Ahmad Dahlan
Tampak Masjid Jami’ Nurul Mu’minin yang terletak di Jalan Urip Sumiharjo, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Sulsel, Sabtu (8/3/2025).Mushala yang dibangun oleh pasukan Kerajaan Gowa saat itu sangat sederhana, dengan dinding terbuat dari ranting kayu yang disusun dan atap dari daun ijuk.
"Besar kayunya untuk dinding seukuran lengan orang dewasa," jelasnya.
Lebih lanjut, pimpinan kerajaan yang berdiri sejak abad ke-14 ini juga memerintahkan pasukannya untuk membuat tempat berwudu.
Hingga kini, sumur bersejarah tersebut masih digunakan oleh jemaah dan masyarakat setempat, terletak di sebelah timur masjid.
Baca juga: Tanggapi Raja Juli, Ketua Takmir Masjid UGM: Bedakan Politik Praktis dan Pendidikan Politik
Ridwan menambahkan bahwa seiring perkembangan zaman, masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi agar tetap kokoh dan nyaman digunakan untuk beribadah.
"Perombakan itu mulai dari dinding yang dibuat dari ranting, dan ada salah satu perusahaan dari Cina yang berusaha, tahun 1930-an dipermanenkan. Ini masih asli dari tahun 1930-an," ucap Ridwan.
Pembangunan masjid bersejarah ini melibatkan pekerja dari berbagai latar belakang, termasuk tenaga ahli dari Tiongkok yang turut serta dalam konstruksinya.
Salah satu ciri khas Masjid Jami’ Nurul Mu’minin adalah terdapat lima pintu, yang memiliki makna filosofis mendalam.
"Pintu ada lima yang menandakan lima waktu shalat, kalau orang dulu filosofinya," tutur Ridwan.
Baca juga: Update Kerusakan Gempa Luwu Timur, Masjid dan Rumah Warga Rusak
Desain masjid tetap mempertahankan unsur tradisional dengan perpaduan arsitektur khas Makassar dan elemen klasik yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.
Pilar-pilar yang kokoh dan bentuk bangunan yang mempertahankan gaya aslinya menjadi bukti ketahanan sejarahnya.
Sejak awal berdirinya hingga kini, Masjid Jami’ Nurul Mu’minin tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat.
Masjid ini menjadi tempat belajar Al Quran, pengajian, serta berbagai kegiatan keislaman lainnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang