KOMPAS.com - Tarian Sulawesi Tenggara merupakan bagian kekayaan budaya di Sulawesi Tenggara.
Sejumlah tarian Sulawesi Tenggara menggambarkan kondisi penduduk setempat, seperti peresmian pembukaan lahan pertanian, penyambutan tamu, maupun tari perang sebagai cara menghadapi musuh.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Sulawesi yang memiliki sejumlah suku, antara lain Muna, Tolaki, Buton, Moronene, serta Wolio.
Berikut ini adalah sejumlah tarian Sulawesi Tenggara.
Tari Balumpa adalah tari tradisional yang berasal dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara, khususnya wilayah Binongko dan Buton.
Kisah tari Balumpa adalah sekelompok gadis yang tengah berdendang dan gembira dengan hati yang gembira dan tulus.
Tari Balumpa biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu terhormat yang datang ke daerah tersebut.
Penari tari Balumpa adalah penari wanita, namun terkadang juga tarian ditarikan oleh penari pria. Jumlah penari berkisar enam hingga delapan penari.
Gerakan tari Balumpa di dominasi gerakan tubuh yang melenggak-lenggok dan kaki diayunkan ke depan.
Baca juga: Tari Balumpa, Tari Penyambutan Tamu dari Sulawesi Tenggara
Tari Mangaru adalah tari tradisional masyarakat Buton dengan sebilah keris yang dimainkan dengan dua tangan.
Penari tari Mangaru adalah dua orang laki-laki yang dianggap mempunyai kemampuan fisik dan batin.
Masing-masing penari memagang keris dengan menggunakan pakaian tradisional wolio beserta kopiah.
Musik pengiring tari Mangaru adalah gendang.
Tari Lumense berasal dari Tokotu'a, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Lumense merupakan kata yang berasal dari bahasa setempat, yaitu lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi. Sehingga Lumense dapat diartikan terbang tinggi.
Pada masa lalu tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yakni ritual penyembahan kepada roh-roh halus yang disebut kowonuano (penguasa negeri) dengan sajian berbagai jenis makanan.
Fungsi tari Lumense saat ini mulai bergeser tidak lagi menjadi ritual pengusir roh, namun tarian masih dianggap mempunyai nilai spiritual.
Masyarakat setempat menganggap tari Lumense adalah tari 'penyembuhan'.
Jumlah penari Lumense sebanyak lima orang penari pria dan lima orang penari wanita.
Tarian diiringi dengan musik gendang, gong besar, dan gong kecil yang dimainkan secara serentak.
Nama Kolegoa merupakan nama tarian yang berarti saputangan kebesaran gadis pingitan berbentuk segitiga dengan hiasan khas daerah.
Tari kolegoa menggambarkan suka duka gadis-gadis Buton yang melakukan tradisi adat posuo (pingitan).
Selama dalam pingitan, mereka mendapatkan nasihat-nasihat dari orang tua untuk menjadi gadis yang dewasa dan matang dalam berumah tangga.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.