MAKASSAR, KOMPAS.com- Enam kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dilanda bencana banjir dan tanah longsor, pada Jumat (3/5/2024).
Hal itu terjadi lantaran tingginya intensitas hujan sehingga beberapa sungai besar pun meluap dan merendam beberapa wilayah.
Adapun kabupaten yang terdampak bencana banjir dan tanah longsor yakni Kabupaten Luwu, Sidrap, Luwu Utara, Enrekang, Wajo, dan Soppeng.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada Senin (6/5/2024) total ada 13 korban meninggal dunia akibat banjir dan tanah longsor.
Korban jiwa itu tersebar di sejumlah wilayah. 11 korban ditemukan meninggal dunia di Kabupaten Luwu, 1 meninggal dunia di Kabupaten Sidrap, dan 1 meninggal dunia di Kabupaten Wajo.
Baca juga: Hari Keempat Banjir Luwu, Tim SAR Masih Cari Satu Korban Hilang dan Evakuasi 8 Warga
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) pun buka suara ihwal bencana alam yang menerjang beberapa wilayah tersebut.
Walhi menyebut, berdasarkan hasil pemantauan satelit hujan memang menunjukkan, intensitas hujan di wilayah pegunungan tinggi sehingga membuat anak sungai meluap.
"Intensitas hujan yang tinggi dan dalam waktu yang lama secara alamiah mengakibatkan volume air dari wilayah pegunungan (hulu) penuh dan mengalir deras ke beberapa anak-anak sungai," kata Direktur Walhi Sulsel Muh Al Amin kepada Kompas.com, Selasa (7/5/2024).
Bahkan, dari hasil kajian Walhi Sulsel selain faktor alam seperti curah hujan yang tinggi. Faktor alih fungsi lahan di kawasan pengunungan khususnya di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu juga sangat berpengaruh.
"Aktivitas ekstraktif dan alih fungsi lahan di daerah inti dan penyangga pegunungan Latimojong memperparah banjir serta longsor yang terjadi di Luwu, Enrekang, Sidrap, dan Wajo," ungkapnya.
Pasalnya, di kawasan itu ada aktivitas tambang emas. Belum lagi praktik tambang emas ilegal hingga tambang pasir yang beroperasi di wilayah aliran sungai Latimojong.
"Di sekitar kawasan penyangga Pegunungan Latimojong terdapat wilayah pertambangan emas milik PT Masmindo Dwi Area dan beberapa aliran sungai di sekitarnya juga dibebani oleh tambang emas ilegal dan izin pertambangan pasir sungai (galian c)," kata Muh Al Amin.
"Kondisi ini pun diperparah dengan jenis tanah di sekitar yang masuk dalam kategori tanah andosol dan latosol yang sangat rentan erosi utamanya ketika musim penghujan tiba. Sehingga, alih fungsi lahan untuk aktivitas ekstraktif dan perkebunan di kawasan penyangga akan mendorong terjadinya banjir dan longsor," sambungnya.
Hal yang sama juga ungkap oleh lembaga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan (Sulsel). Berdasarkan kajian KPA Sulsel bahwa bencana alam di wilayah tersebut bahkan terus mengancam jika tidak ada solusi yang dilakukan pemerintah.
"Bencana terus berulang sebab kebijakan pembangunan yang tidak berspektif pengurangan resiko bencana. Ancaman-ancaman di wilayah penyangga oleh pembukaan perkebunan yang ditengerai oleh kelompok-kelompok pemodal, elit, para tokoh feodal tidak terelakkan," kata Koordinator Wilayah KPA Sulsel Rizki Anggriana Arimbi dikonfirmasi terpisah.