MAKASSAR, KOMPAS.com - Mantan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak hadir dalam pembacaan nota keberatan atau eksepsi dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu (9/8/2023).
Namun, ada yang menarik dalam agenda pembacaan eksepsi yang digelar di Ruang Bagir Manan Pengadilan Negeri Tipikor Makassar.
Ricky Ham Pagawak tampak mengenakan kaus hitam bertuliskan "Tanda Tangan ke 5 Orang Tua Saya Dalam PEPERA 1969 NKRI dan KPK, Bayar Dengan Penjarakan Saya. RHP".
Tim Penasihat Hukum Terdakwa Ricky Ham Pagawak, Petrus Pieter Ell, mengatakan ada makna dan tujuan dari kliennya mengenakan kaus tersebut. Petrus menyebut orangtua Ricky salah satu yang menentukan Pepera 1969 silam.
"Orangtuanya salah satu pelaku integrasi Irian Barat ke Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera Tahun 1969, dan RHP (Ricky Ham Pagawak) merasa diskriminasi karena ada kerugian negara Rp 300 miliar hasil audit BPK 2008-2012 di Kabupaten Mamberano Tengah, tapi tidak diproses hukum hingga saat ini," kata Petrus kepada Kompas.com.
Diketahui dalam agenda sidang eksepsi ini, Ricky Ham Pagawak menyampaikan beberapa hal yang dianggangap ada kejanggalan dalam proses hukum yang dijalaninya.
"Pertama sejak proses hukum ini dimulai KPK, saya tidak pernah sekalipun diperiksa sebagai saksi, sepengetahuan saya sebelum ditetapkan jadi tersangka, terlebih dahulu diperiksa sebagai saksi," ucapnya.
Kedua, kata Ricky sejak awal keberatan untuk disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar. "Sudah berulang kali saya sampaikan kepada penyidik dan jaksa KPK karena tuduhan tindak pidana yang saya lakukan terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tipikor Jayapura bukan Pengadilan Negeri Makassar," ujarnya.
Dia juga menyampaikan, seluruh saksi dalam kasus ini ada di Papua. Termasuk saksi dari pihaknya.
"Saksi dari saya berada di Papua sehingga saya tidak punya biaya untuk menghadirkan seluruh saksi," ungkapnya.
Ricky mengatakan, jika sidang ini tetap dilakukan di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar, maka jaksa penuntut umum harus mempersiapkan biaya untuk menghadirkan saksi dari pihaknya.
"Ini adalah bentuk diskriminasi yang sangat nyata bagi orang Papua," tuturnya.
Selain itu, ia juga menyatakan banyak kasus yang sama terjadi di wilayah lain, namun yang bersangkutan dikembalikan di wilayah asalnya. Sedangkan dirinya tidak.
"Saudara-saudara dari wilayah lain Indonesia yang sama-sama dengan saya menjalani proese hukum di KPK dan sama-sama ditahan di KPK, setelah P21 mereka langsung dikirim ke daerah asal mereka masing-masing untuk disidangkan sesuai tidak pidananya," keluhnya.
Dia juga menyebut, alasan penetapan keputusan pemindahan lokasi sidang di PN Makassar dikarenakan ia sebagai tokoh politik dan adat.
Baca juga: Mantan Bupati Mamberamo Tengah Ungkap Kejanggalan Dakwaan JPU KPK