Editor
“Dia sudah mengajukan permohonan maaf pada kami, pada satgas, bahwa itu sebenarnya adalah inisiatif yang merespons pertanyaan dari korban, karena kan dia selalu menghubungi korban,” dalih Farida.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menegaskan Satgas PPKS mestinya tidak menyampaikan kata-kata yang bisa membuat korban kekerasan seksual semakin tersudut.
“Ada paling tidak tujuh kalimat yang tidak boleh disampaikan kepada korban karena itu kan akan mereviktimasi si korban.”
Kalimat-kalimat itu, antara lain, “Kenapa kamu tidak berteriak?”, “Kamu menikmati ya?”, “Baju apa yang kami pakai?”, dan “Kenapa kamu baru melapor sekarang?”.
“Itu kan kata-kata yang tidak boleh ya disampaikan oleh siapa pun apalagi misalnya itu [anggota] satgas. Menurut saya ini penting bagi kita semuanya untuk tidak melakukan reviktimisasi terhadap si korban,” tegasnya.
Dari tahun ke tahun, angka kekerasan seksual di perguruan tinggi terus mengalami tren peningkatan. Menurut Alimatul, ini karena makin banyak korban untuk mengungkap kekerasan seksual yang dialami.
“Bisa jadi bukan karena kasusnya meningkat, tapi bisa jadi karena kesadaran korban untuk lapor itu meningkat.”
Survei yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2020, kata Alimatul, sebanyak 80% korban memilih diam dan tidak melaporkan.
“Itu penyebabnya, karena tidak meyakini kalau lapor itu kira-kira ditangani atau tidak,” kata dia.
Namun itu berubah setelah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi diberlakukan pada 31 Agustus 2021 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada 9 Mei 2022.
Sejak itu, banyak kampus mulai membentuk Satgas PPKS dan banyak korban kekerasan seksual melapor.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Kampus Butuh Penanganan Lebih Serius
“Ini kan masif dilakukan, bahkan untuk perguruan tinggi negeri kan sudah 100% yang sudah punya Satgas PPKS,” kata Alimatul.
“Dari masifnya gerakan ini, ini semakin banyak korban yang percaya kalau dia lapor, itu kemudian ditangani dengan baik,” ujarnya kemudian.
Aktivis perempuan sekaligus pendamping korban, Aflina Mustafainah, mengatakan saat ini korban telah melanjutkan aktivitas studinya. Kendati begitu, trauma masih membayangi.
“Dia tidak seperti biasa lagi, itu kan mengambalikan sesuatu yang hilang kan susah. Kita meyakinkan dia itu punya hak atas kebenaran,” ujar Aflina.
Dia menambahkan tim pendamping korban akan memproses kasus ini ke kepolisian, kendati Aflina mengakui penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual tak semudah kasus pidana lainnya.
Pada Kamis (28/11) malam, tim pendamping korban telah berkoordinasi dengan tim hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) agar mendampingi korban saat melapor ke polisi.
Aflina kemudian menjelaskan alasan korban mengungkap peristiwa pelecehan yang dialami ke publik adalah karena tak mau ada korban lain yang mengalami hal serupa.
“Korban bilang, ‘Saya tidak mau ada korban lain’.”
“Keinginannya adalah tidak mau lagi ada korban. Itu hebat karena dia tidak memikirkan dirinya sendiri tapi dia memikirkan calon-calon korban lain,” cetus Aflina.
Wartawan di Makassar, Darul Amri, berkontribusi untuk liputan ini.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang