"Jadi, terkait penghapusan tersebut saya lebih tetap menggunakan skripsi karena dengan menggunakan skripsi saya bisa mencurahkan semua apa yang ingin saya ketahui dalam bidang yang saya tekuni," ujar dia.
Meskipun menjadi tugas akhir yang memberatkan bagi banyak mahasiswa, namun menurutnya saat ini mahasiswa juga perlu mengetahui bahwa apakah penghapusan skripsi ini menjadi hal positif bagi mahasiswa ke depannya.
"Atau hanya menjadi lulusan yang tidak mengetahui bidangnya sendiri, akan berdampak negatif seperti itu, jadi kita juga perlu mengkaji hal tersebut terlebih dahulu. Saya tetap ingin ada skripsi karena saya ingin mencurahkan fokus bidang saya dalam hal skripsi nantinya," ungkap dia.
Mahasiswa Fakultas Farmasi Jurusan Faramasi Unhas Achmad Fauzan menyebut, jika skripsi tidak wajib lagi terkesan akan mempermudah mahasiswa menyelesaikan pendidikan.
Hanya saja, kata dia, perlu dipahami, jangan sampai hal ini membuat mahasiswa terlena dalam menjalani pendidikan.
Sebab, persaingan setelah lulus justru lebih ketat dan belum tentu kebijakan Mendikbud ini menjamin lulusan perguruan tinggi akan lebih mudah mencari kerja.
"Bila kita merasa dipermudah untuk lulus, kita harus berpikir bagaimana persaiangan ke depan, bagaimana kita bersaing setelah lulus kuliah, jangan merasa kita dipermudah lulus maka kehidupan selanjutnya juga akan mudah," beber dia.
"Jadi, kalau dari dari sisi Pak Menteri, saya setuju saja. Kalau dari sisi mahasiswa, ada setuju ada tidaknya juga, ada postif dan negatifnya. Positifnya sendiri, bisa mempermudah, negatifnya akan ada mispersepsi di antara kita mahasiswa, bahwa saat dipermudah waktu kuliah mungkin bakal dipersulit di dunia kerja," pungkas dia.
Dia berpendapat, syarat skripsi sebagai wajib lulus kuliah masih sah-sah saja. Kalau pun nanti keputusannya dikembalikan ke kampus, maka kampus harus menetapkan standar kelulusan untuk pengannti skripsi.
"Setahau saya, bisa jadi sebuah projek, kemudian tugas lain atau karya tulis ilmiah, kalau saya pribadi jenis tugasnya bisa dikembakikan ke kampus tapi harus membuat standar tertentu yang bisa bisa dijadikan sebagai tugas akhir," tutur dia.
Kaprodi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Terpadu (PSPT) Unhas, Prof Amran Saru yang kerap menjadi dosen pembimbing skripsi atau tesis mengaku hal itu tergantung kenginan birokrasi kampus dalam merancang dan mencetak mahasiswanya.
Baca juga: Makassar Krisis Air Bersih, Penyebabnya Bendungan Leko Pancing Maros Kering
"Kalau misalnya kita mau mencetak pemikir, mesti harus ada tulisan ilmiah tapi mau cetak seorang sarjana yang punya skill tertentu langsung saja buat tulisan ilmiah," ucap dia.
Prof Amran juga menyebut, sudah banyak negara yang sudah tidak menganut sistem tesis, skripsi dan desertasi, salah satunya Prancis.
"Selesai kuliah yang sudah selesai tapi diperketat dalam tugas-tugas perkuliahan," ungkap dia.