Salin Artikel

Pro-Kontra Mahasiswa Unhas Terkait Kebijakan Nadiem yang Tidak Wajibkan Lagi Skripsi

MAKASSAR, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim baru-baru ini membuat heboh dunia pendidikan.

Nadiem mengatakan bahwa ke depan mahasiswa S-1 dan Sarjana Terapan tidak lagi wajib membuat skripsi sebagai syarat kelulusan.

Pernyataan Nadiem Makarim kemudian menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa maupun perguruan tinggi yang selama ini menjadikan skripsi sebagai syarat wajib untuk meraih gelar sarjana.

Bahkan, terkait isu tersebut, terjadi pro dan kontra di kalangan para mahasiswa.

Ada yang mendukung ada pula yang ingin skrispi tetap menjadi syarat wajib untuk menyelesaikan studi S-1 mereka.

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Jurusan Psikologi Unhas Makassar, Sulsel, Afiqah Rezki Riyani mengaku sepakat dengan usulan Nadiem jika mahasiswa S-1 dan Sarjana Terapan tidak lagi wajib membuat skripsi.

"Saya sepakat karena sekarang dapat dilihat banyak mahasiswa (tingkat) akhir yang berat mengerjakan skripsi yang berujung pada joki skripsi atau mencopas (copy paste) dari Google," kata Afiqah, saat ditemui Kompas.com di kampusnya, Kamis (31/8/2023).

Menurut mahasiswi angkatan 2020 ini, ketika skripsi bisa digantikan dengan proyek-proyek lain, itu dapat membuat mahasiswa berpikir inovatif dan tidak monoton pada skripsi-skripsi yang ada pada jurusan. 

"Saya sepakat dengan Pak Nadiem Makarim bahwa skripsi mungkin tidak diwajibkan, tapi boleh diganti dengan proyek-proyek lain," ujar dia.

Ia menuturkan, banyak mendengar curhat teman-temannya yang stres akibat mengerjakan skripsi.

"Apalagi, beberapa teman-teman saya mahasiswa tingkat akhir yang saya tanya katanya kita itu lulus tergantung dosen pembimbing. Jadi, sebenarnya ada kasiannya juga ketika kita sudah antusias tapi dosen pembimbing ini tidak terlalu antusias untuk membimbing kita untuk lulus skripsi," ungkap dia.

Sehingga dengan proyek yang dijalankan, kata Afiqah l, di situ peran mahasiswa jauh lebih banyak dibanding dosen pembimbingnya. 

 "Karena dari proyek itu mahasiswa bisa langsung berkembang secara inovatif dan dosen hanya membimbing sedikit-sedikit saja seperti program PKM atau PMW yang diadakan di Kemendikbud. Jadi, saya sepakat dengan pernyataan Pak Nadiem Makarim soal skripsi tidak diwajibkan," ujar dia.

Sementara menurut mahasiswa Fakultas Pertanian Unhas Syahrul Hayat, pengahapusan skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa dapat mempermudah kelulusan. Namun, ia bersikap kontra terkait kebijakan tersebut.

"Karena saya sebagai mahasiswa semester 5 yang tahun depan mungkin sudah mengkaji skripsi, saya sendiri ingin sebagai lulusan sarjana keluar (selesai kuliah) dengan 1 bidang yang saya minati," imbuh dia.

Dia menyebut, bidang yang ia minati tersebut bisa menjadi acuan saat dirinya nanti membuat skripsi.


"Jadi, terkait penghapusan tersebut saya lebih tetap menggunakan skripsi karena dengan menggunakan skripsi saya bisa mencurahkan semua apa yang ingin saya ketahui dalam bidang yang saya tekuni," ujar dia.

Meskipun menjadi tugas akhir yang memberatkan bagi banyak mahasiswa, namun menurutnya saat ini mahasiswa juga perlu mengetahui bahwa apakah penghapusan skripsi ini menjadi hal positif bagi mahasiswa ke depannya.

"Atau hanya menjadi lulusan yang tidak mengetahui bidangnya sendiri, akan berdampak negatif seperti itu, jadi kita juga perlu mengkaji hal tersebut terlebih dahulu. Saya tetap ingin ada skripsi karena saya ingin mencurahkan fokus bidang saya dalam hal skripsi nantinya," ungkap dia.

Mahasiswa Fakultas Farmasi Jurusan Faramasi Unhas Achmad Fauzan menyebut, jika skripsi tidak wajib lagi terkesan akan mempermudah mahasiswa menyelesaikan pendidikan.

Hanya saja, kata dia, perlu dipahami, jangan sampai hal ini membuat mahasiswa terlena dalam menjalani pendidikan.

Sebab, persaingan setelah lulus justru lebih ketat dan belum tentu kebijakan Mendikbud ini menjamin lulusan perguruan tinggi akan lebih mudah mencari kerja.

"Bila kita merasa dipermudah untuk lulus, kita harus berpikir bagaimana persaiangan ke depan, bagaimana kita bersaing setelah lulus kuliah, jangan merasa kita dipermudah lulus maka kehidupan selanjutnya juga akan mudah," beber dia.

"Jadi, kalau dari dari sisi Pak Menteri, saya setuju saja. Kalau dari sisi mahasiswa, ada setuju ada tidaknya juga, ada postif dan negatifnya. Positifnya sendiri, bisa mempermudah, negatifnya akan ada mispersepsi di antara kita mahasiswa, bahwa saat dipermudah waktu kuliah mungkin bakal dipersulit di dunia kerja," pungkas dia.

Dia berpendapat, syarat skripsi sebagai wajib lulus kuliah masih sah-sah saja. Kalau pun nanti keputusannya dikembalikan ke kampus, maka kampus harus menetapkan standar kelulusan untuk pengannti skripsi.

"Setahau saya, bisa jadi sebuah projek, kemudian tugas lain atau karya tulis ilmiah, kalau saya pribadi jenis tugasnya bisa dikembakikan ke kampus tapi harus membuat standar tertentu yang bisa bisa dijadikan sebagai tugas akhir," tutur dia.

Kaprodi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Terpadu (PSPT) Unhas, Prof Amran Saru yang kerap menjadi dosen pembimbing skripsi atau tesis mengaku hal itu tergantung kenginan birokrasi kampus dalam merancang dan mencetak mahasiswanya.

"Kalau misalnya kita mau mencetak pemikir, mesti harus ada tulisan ilmiah tapi mau cetak seorang sarjana yang punya skill tertentu langsung saja buat tulisan ilmiah," ucap dia.

Prof Amran juga menyebut, sudah banyak negara yang sudah tidak menganut sistem tesis, skripsi dan desertasi, salah satunya Prancis.

"Selesai kuliah yang sudah selesai tapi diperketat dalam tugas-tugas perkuliahan," ungkap dia.


Dia menuturkan, apabila nanti hal tersebut diberlakukan maka setiap mata kuliah rancangan pembelajaran semester (RPS) harus ditata sedemikian rupa.

"Sehingga output dari mata kuliah sudah menjadi skill bagi mahasiswa dan juga sudah ada pengalaman-pengalaman terkait dengan riset, jadi bisa diimplentasikan di dunia nyata ketika sudah mengambil suatu mata kuliah," ujar dia.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan aturan baru terkait syarat kelulusan bagi mahasiswa strata satu (S1) atau diploma 4 (D4), strata dua (S2), dan strata tiga (S3).

Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Melalui aturan baru, skripsi, tesis, maupun disertasi tidak lagi wajib.

Mahasiswa melalui kebijakan perguruan tinggi masing-masing, bisa mengambil syarat kelulusan yang lain selain skripsi, dalam bentuk project base, prototype, dan sebagainya.

Plt Direktur Jenderal Perguruan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nizam mengatakan, beberapa kampus sebetulnya sudah mulai memberikan pilihan kepada mahasiswanya untuk mengambil skripsi, atau tugas lain.

Penerbitan aturan baru bertujuan untuk memberikan payung hukum kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang telah diberi kemerdekaan untuk memilih, sesuai dengan keputusan dan kesiapan kampus serta mahasiswanya.

https://makassar.kompas.com/read/2023/08/31/213202778/pro-kontra-mahasiswa-unhas-terkait-kebijakan-nadiem-yang-tidak-wajibkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke