Ayahnya bernama Abdullalah dan ibunya bernama Aminah.
Syekh Yusuf telah mengenyam pendidikan agama Islam sejak usia 15 tahun. Gurunya bernama Daeng Ri Tassamang, guru Kerajaan Gowa di Cikoang.
Sepulangnya dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa. Kemudian di usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh.
Syekh Yusuf menunaikan ibadah haji pada tahun 1644 dan tinggal di Mekkah selama beberapa waktu. Dia belajar dengan ulama terkemuka di Mekkah dan Madinah.
Selama Syekh Yusuf di Mekkah, Perusahaan Hindia Timur Belanda dan Inggris tengah berjuanng menguasai wilayah Gowa, Makassar.
Kondisi tersebut disebabkann karena perdagangan rempah-rempah dan emas yang sangat menguntungkan.
Pada saat, Syekh Yusuf meninggalkan Mekkah pada tahun 1664 M, Makassar sudah dikuasai Belanda, sehingga Yusuf tidak dapat kembali ke Makassar.
Baca juga: Peran Syekh Yusuf di Indonesia
Syekh Yusuf kemudian pergi menuju Banten, kedatangannya disambut Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf tinggal di Banten selama 16 tahun atau hingga 1680.
Pada saat bersamaan, Pangeran Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa, tengah melakukan perlawanan terhadap ayahnya.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat mengerahkan pasukannya termasuk Syekh Yusuf pada tahun 1683 untuk mengepung Pangeran Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat dikalahkan namun dia berhasil lolos bersama Yusuf dan rombongannya sebanyak sekitar 5000 orang.
Pada akhir tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, sedangkan Syekh Yusuf berhasil kabur dan melanjutkan perlawanan.
Syekh Yusuf diminta menyerah dengan janji pengampunan oleh Belanda pada tahun 1684.
Namun, Belanda kemudian mengingkari janjinya dan malah menangkap Syekh Yusuf dan memenjarakannya di Benteng Batavia.
Upaya Belanda tersebut didorong rasa kekhawatiran Yusuf akan melarikan diri. Yusuf kemudian dipindahkan ke Ceylon pada September 1684.