Sementara itu, Rosmiati Sain dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Sulawesi Selatan menilai, ada kecenderungan penyidik menganggap kesaksian ibu korban lemah karena kondisi psikis yang dia alami.
Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Komang Suarta, mengeklaim bahwa proses penyelidikan telah dilakukan sesuai prosedur dan didukung oleh keterangan saksi-saksi ahli yang "telah bekerja secara profesional".
Menurut Suarta, hasil visum serta keterangan dokter forensik hingga psikolog forensik menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual yang dialami oleh ketiga anak tersebut.
"Polisi kan tidak bekerja berdasarkan opini, tapi berdasarkan bukti di lapangan dengan adanya saksi-saksi yang sudah bekerja profesional. Mereka menyatakan tidak cukup bukti bahwa ada kekerasan seksual," kata Komang kepada BBC News Indonesia.
Suarta mengklaim ketika korban anak diperiksa oleh para saksi ahli, yang terlihat justru ketiga anak itu "mendapat tekanan dari pihak ibu".
"Di saat terjadi permasalahan rumah tangga, di situ sudah jelas bahwa apa yang dilakukan oleh ibu mungkin menekan anak, menjelaskan kejadian yang dilakukan oleh seorang bapak, pressure ibu kuat, itu sudah hasil gelar perkara," kata Komang.
"Kalau kuasa hukumnya tidak puas, silakan saja. Kan sudah dibilang, dalam gelar [perkara] itu jangan berdasarkan opini yang disampaikan oleh ibu korban, tapi berdasarkan bukti," lanjut dia.
Usai gelar perkara itu, polisi kemudian merekomendasikan agar ibu dan ketiga anaknya mendapat perlindungan dalam rangka pemulihan.
Di satu sisi, Rezky Pratiwi menilai rekomendasi itu sesuatu yang baik dan patut diterima korban. Namun di sisi lain, Rezky mempertanyakan sudut pandang penegak hukum dalam mengeluarkan rekomendasi itu.
"Ini menjadi ambigu, apa yang dipulihkan kalau mereka dianggap bukan korban tindak pidana?" kata Rezky.
Johanna Poerba dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) khawatir ditutupnya kasus ini bisa semakin membuat korban-korban kekerasan seksual lainnya, terutama pada anak, enggan melapor.
Dia menilai terdapat banyak cacat prosedur hukum sejak pertama kali kasus ini dilaporkan pada 2019 lalu hingga akhirnya ditutup baru-baru ini.
Kasus ini juga dianggap menunjukkan betapa aparat penegak hukum belum memiliki perspektif korban.
Apalagi dalam banyak kasus, korban kekerasan seksual kerap kali tidak memiliki bukti fisik.
"Ini membuat takut masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan seksual. Kasus ini yang buktinya saja bisa diajukan oleh keluarga korban sangat sulit diproses, apalagi yang tidak ada bukti fisiknya. Ini seperti menegaskan kalau memang percuma lapor polisi," kata dia.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan mengatakan, dalam kasus ini polisi seolah menganggap bahwa hasil visum sebagai "harga mati" yang menentukan pembuktian.
"Belum tentu visum menunjukkan alat bukti, apalagi kalau pelaporannya terlambat dan dalam kasus kekerasan seksual banyak terjadi pelaporan yang terlambat," kata dia.
Agustinus justru menilai kesaksian ketiga korban anak dan bukti-bukti yang diajukan oleh pelapor bisa menjadi alat bukti yang cukup dalam mengusut kasus ini lebih lanjut.
Meski UU TPKS tidak diterapkan dalam kasus ini, karena azas non-reproaktif yang membuat hukum tidak berlaku surut.
Namun, Rosmiati Sain dari LBH Apik Sulawesi Selatan menilai kasus ini mencerminkan bahwa jalan korban kasus dugaan kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan "masih akan menghadapi tantangan berat".
"Harapan besar kita dengan UU TPKS kan perlindungan terhadap korban yang komprehensif bisa didapat, tapi kasus ini menunjukkan tantangan berat," kata Rosmiati.
"Betul-betul kita harus memperkuat kapasitas dan membangun perspektif korban, terutama pada penegak hukum," ujar dia.
Johanna Poerba dan Agustinus Pohan juga sepakat bahwa tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk mengesampingkan perspektif korban.
Sebab jauh sebelum UU TPKS disahkan, KUHAP telah mengatur bahwa keterangan korban ditambah satu alat bukti lainnya cukup untuk membuktikan adanya tindak pidana.
"Hanya saja dalam UU TPKS memang semacam ditegaskan kembali bahwa keterangan korban harus betul-betul dipertimbangkan karena selama ini kerap dikesampingkan," kata Agustinus.
"Sejak dulu hukum yang mengaturnya sudah ada dan harus dijalankan, tapi yang jadi persoalan adalah aparatnya tidak berperspektif korban," kata Johanna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.