Salin Artikel

Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Tiga Anak di Luwu Timur Dihentikan, Kesaksian Korban "Diabaikan" dan "seperti Menegaskan Percuma Lapor Polisi"

Kuasa hukum korban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Rezky Pratiwi, menilai, keputusan itu "ironis" lantaran belum lama ini Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan dengan semangat mengutamakan kepentingan dan hak-hak korban.

Meski kasus ini tidak dilaporkan dalam kerangka UU TPKS - yang pada saat dilaporkan belum berlaku, Rezky menilai kasus di Luwu Timur ini menunjukkan bahwa proses hukum yang berjalan di lapangan saat ini belum berperspektif pada korban.

Rezky menilai polisi telah memiliki dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan. Namun, memilih "mengesampingkan kesaksian ketiga korban yang saling menguatkan".

"Keterangan anak ini seharusnya didudukkan sebagai alat bukti yang utama. Seharusnya proses hukum dihentikan kalau anak korban sendiri mengatakan bahwa itu tidak terjadi, tapi ini korban mengatakan sebaliknya sehingga tidak fair kalau dihentikan," kata Rezky kepada BBC News Indonesia, Minggu (22/05).

Dugaan pemerkosaan terhadap ketiga anak ini pertama kali diketahui oleh ibu korban pada 2019 lalu, setelah bercerai dari mantan suaminya.

Ibu korban kemudian melapor ke Polres Luwu Timur, namun proses penyelidikan dihentikan.

Kasus ini kemudian diberitakan oleh Project Multatuli, sehingga menuai atensi publik dan memunculkan tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial.

Polisi kemudian membuka kembali penyelidikan kasus ini pada Oktober 2021.

Namun, berdasarkan gelar perkara pada Jumat (20/5/2022), penyidik menyimpulkan "tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual seperti yang dituduhkan" berdasarkan hasil visum dan keterangan dokter hingga psikolog forensik.

Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan, Komisaris Besar Komang Suartana, mengatakan "penyelidikan telah berjalan sesuai prosedur" dan kasus ini dihentikan karena polisi "tidak bisa bekerja berdasarkan opini".

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai, polisi semestinya tidak bergantung mutlak pada hasil visum, sehingga mengesampingkan keterangan dan bukti-bukti lainnya yang diajukan korban.

Hal senada juga disampaikan oleh Johanna Poerba dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan yang menilai penghentian kasus bisa membuat korban-korban lainnya takut untuk melapor dan menegaskan bahwa memang "percuma lapor polisi".

Abaikan bukti-bukti yang bertentangan

Selain mengabaikan keterangan korban terkait kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kandung dan dua orang teman ayahnya, Rezky mengatakan penyidik juga mengabaikan bukti-bukti lain yang disodorkan oleh pelapor.

Bukti lain yang dimaksud adalah hasil pemeriksaan dokter di Rumah Sakit Inco Sorowako bahwa "terjadi infeksi pada organ intim ketiga anak tersebut secara bersamaan" pada Oktober hingga Desember 2019, tidak lama setelah anak-anak itu menceritakan dugaan kekerasan seksual yang mereka alami kepada ibunya.

"Anak-anak itu menerangkan bahwa mereka mengalami tindak pidana pencabulan. Mereka juga saling menyaksikan di antara ketiga ini apa yang terjadi pada mereka dan keterangan itu konsisten sejak 2019," tutur Rezky.

"Ditambah bukti mengenai pemeriksaan infeksi pada organ intim. Dua bukti itu sangat cukup untuk mengusut bahwa ada dugaan tindak pidana persetubuhan."

Ibu korban sebagai pelapor juga telah menyerahkan bukti foto dan video yang menunjukkan luka pada ketiga korban anak. Namun, bukti itu juga "tampaknya diabaikan" oleh penyidik.

Polisi, lanjut Rezky, justru mengacu pada keterangan-keterangan saksi ahli yang dianggap bisa mengesampingkan keterangan korban anak.

Sebagai kuasa hukum korban, Rezky juga mengaku kesulitan mengakses informasi terkait perkembangan penyelidikan sejak kasus ini kembali dibuka.

Dia juga mengklaim bahwa polisi tidak menunjukkan dokumen-dokumen penunjang seperti hasil visum saat gelar perkara dilakukan.

"Karena tidak ada informasi itu kami tidak bisa memantau proses penyelidikan yang dilakukan penyidik, sehingga ruang partisipasi korban dalam ini tertutup," ujar Rezky.

LBH Makassar juga menilai "polisi tidak sungguh-sungguh ingin mendalami kasus ini" dan keputusan untuk membuka kembali kasus ini pada Oktober tahun lalu "sebatas respons terhadap pemberitaan yang viral".


Sementara itu, Rosmiati Sain dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Sulawesi Selatan menilai, ada kecenderungan penyidik menganggap kesaksian ibu korban lemah karena kondisi psikis yang dia alami.

Bagaimana tanggapan polisi?

Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Komang Suarta, mengeklaim bahwa proses penyelidikan telah dilakukan sesuai prosedur dan didukung oleh keterangan saksi-saksi ahli yang "telah bekerja secara profesional".

Menurut Suarta, hasil visum serta keterangan dokter forensik hingga psikolog forensik menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual yang dialami oleh ketiga anak tersebut.

"Polisi kan tidak bekerja berdasarkan opini, tapi berdasarkan bukti di lapangan dengan adanya saksi-saksi yang sudah bekerja profesional. Mereka menyatakan tidak cukup bukti bahwa ada kekerasan seksual," kata Komang kepada BBC News Indonesia.

Suarta mengklaim ketika korban anak diperiksa oleh para saksi ahli, yang terlihat justru ketiga anak itu "mendapat tekanan dari pihak ibu".

"Di saat terjadi permasalahan rumah tangga, di situ sudah jelas bahwa apa yang dilakukan oleh ibu mungkin menekan anak, menjelaskan kejadian yang dilakukan oleh seorang bapak, pressure ibu kuat, itu sudah hasil gelar perkara," kata Komang.

"Kalau kuasa hukumnya tidak puas, silakan saja. Kan sudah dibilang, dalam gelar [perkara] itu jangan berdasarkan opini yang disampaikan oleh ibu korban, tapi berdasarkan bukti," lanjut dia.

Usai gelar perkara itu, polisi kemudian merekomendasikan agar ibu dan ketiga anaknya mendapat perlindungan dalam rangka pemulihan.

Di satu sisi, Rezky Pratiwi menilai rekomendasi itu sesuatu yang baik dan patut diterima korban. Namun di sisi lain, Rezky mempertanyakan sudut pandang penegak hukum dalam mengeluarkan rekomendasi itu.

"Ini menjadi ambigu, apa yang dipulihkan kalau mereka dianggap bukan korban tindak pidana?" kata Rezky.

'Menegaskan kalau memang percuma lapor polisi'

Johanna Poerba dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) khawatir ditutupnya kasus ini bisa semakin membuat korban-korban kekerasan seksual lainnya, terutama pada anak, enggan melapor.

Dia menilai terdapat banyak cacat prosedur hukum sejak pertama kali kasus ini dilaporkan pada 2019 lalu hingga akhirnya ditutup baru-baru ini.

Kasus ini juga dianggap menunjukkan betapa aparat penegak hukum belum memiliki perspektif korban.

Apalagi dalam banyak kasus, korban kekerasan seksual kerap kali tidak memiliki bukti fisik.

"Ini membuat takut masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan seksual. Kasus ini yang buktinya saja bisa diajukan oleh keluarga korban sangat sulit diproses, apalagi yang tidak ada bukti fisiknya. Ini seperti menegaskan kalau memang percuma lapor polisi," kata dia.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan mengatakan, dalam kasus ini polisi seolah menganggap bahwa hasil visum sebagai "harga mati" yang menentukan pembuktian.

"Belum tentu visum menunjukkan alat bukti, apalagi kalau pelaporannya terlambat dan dalam kasus kekerasan seksual banyak terjadi pelaporan yang terlambat," kata dia.

Agustinus justru menilai kesaksian ketiga korban anak dan bukti-bukti yang diajukan oleh pelapor bisa menjadi alat bukti yang cukup dalam mengusut kasus ini lebih lanjut.

Tantangan berat

Meski UU TPKS tidak diterapkan dalam kasus ini, karena azas non-reproaktif yang membuat hukum tidak berlaku surut.

Namun, Rosmiati Sain dari LBH Apik Sulawesi Selatan menilai kasus ini mencerminkan bahwa jalan korban kasus dugaan kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan "masih akan menghadapi tantangan berat".

"Harapan besar kita dengan UU TPKS kan perlindungan terhadap korban yang komprehensif bisa didapat, tapi kasus ini menunjukkan tantangan berat," kata Rosmiati.

"Betul-betul kita harus memperkuat kapasitas dan membangun perspektif korban, terutama pada penegak hukum," ujar dia.

Johanna Poerba dan Agustinus Pohan juga sepakat bahwa tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk mengesampingkan perspektif korban.

Sebab jauh sebelum UU TPKS disahkan, KUHAP telah mengatur bahwa keterangan korban ditambah satu alat bukti lainnya cukup untuk membuktikan adanya tindak pidana.

"Hanya saja dalam UU TPKS memang semacam ditegaskan kembali bahwa keterangan korban harus betul-betul dipertimbangkan karena selama ini kerap dikesampingkan," kata Agustinus.

"Sejak dulu hukum yang mengaturnya sudah ada dan harus dijalankan, tapi yang jadi persoalan adalah aparatnya tidak berperspektif korban," kata Johanna.

https://makassar.kompas.com/read/2022/05/23/131138878/kasus-dugaan-kekerasan-seksual-tiga-anak-di-luwu-timur-dihentikan-kesaksian

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke