Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Songkok Recca dari Bone, dari Sejarah hingga Cara Membuatnya

Kompas.com, 12 Agustus 2024, 22:56 WIB
Dini Daniswari

Editor

KOMPAS.com - Songkok Recca atau Songkok To Bone adalah kopiah yang berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Songkok Recca merupakan salah satu kerajinan tradisional masyarakat Bone. Songkok Recca biasa digunakan dalam acara resmi maupun untuk oleh-oleh. 

Keberadaan Songkok Recca telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2018. 

Songkok Recca 

Sejarah Songkok Recca

Songkok Recca biasa disebut Songkok Pamiring atau Songkok To Bone. Masing-masing nama songkok memiliki kisah berdasarkan rentang waktunya. 

  • Periode Songkok Recca

Nama Songkok Recca berawal saat Raja Bone ke-15, Arung Palakka menyerang Tana Toraja (Tator) pada tahun 1683.

Pada saat itu, Bone hanya berhasil menduduki beberapa desa di wilayah Makale-Rantepao. Pada periode tersebut songkok disebut sebagai Songkok Recca. 

Ciri khas laskar Bone pada saat itu adalah menggunakan sarung yang diikatkan di pinggang (Mabbida atau Mappangare Lipa). 

Sementara laskas Tator mengunakan sarung yang diselempangkan (Massuleppang Lipa) sehingga jika terjadi pertempuran dua pasukan di malam hari sulit membedakan antara lawan dan kawan. 

Baca juga: Ribuan Warga Arak Al Quran, Songkok, hingga Tasbih Serba Raksasa

Untuk mensiasatinya, Arung Palakka meminta prajuritnya menggunakan tanda di kepala sebagai pembeda, yaitu Songkok Recca. 

Pada tahun 1905, tentara Belanda menyerang Bone. Saat itu, Bone dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri. 

Belanda berhasil menawan Lapawawoi sehingga Bone terjadi kekosongan kekuasaan.

Namun Ade Pitue atau lembaga pembantu utama Kerajaan Bone masih berfungsi tapi di bawah kendali Belanda. 

Saat itu, Bone mengalami kekosongan pemerintahan selama 26 tahun, antara 1905 hingga 1931. 

Belanda kemudian mengangkat Lamappanyukki sebagai Raja Bone ke-32 pada tahun 1931 dengan persetujuan Ade Pitu.

  • Periode Songkok Pamiring

Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, Songkok Recca menjadi kopiah resmi atau songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan punggawa-punggawa kerajaan. 

Untuk membedakan derajat di antara mereka, Songkok Recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring Pulaweng) yang  menunjukkan strata pemakainya. 

Pada saat itu, tidak semua orang dapat memakai kopiah tersebut kecuali anggota kerajaan.

Pada periode inilah songkok disebut Songkok Pamiring. 

Pada saat Songkok Recca menjadi kopiah resmi Kerajaan Bone, La Mappanyukki mengatakan hanya ada dua kerajaan yang dapat memakai Songkok Pamiring, yaitu Mangkau Ri Bone Majjajareng dan Sombayya Ri Gowa. 

Dari sinilah awal, Songkok Pamiring terdapat di Gowa yang disebut Songkok Guru, yang kemudian berkembang di daerah sekitar hingga Takalar.  

Songkok Recca yang bercorak lapisan emas disebut Songkok Pamiring. 

Pada masa Kerajaan Bugis, emas yang melingkar pada Songkok Pamiring mengandung makna.

Lingkaran emas yang semakin tinggi sebagai tanda derajat kebangsawanan pemakainya semakin tinggi.

Besaran lingkaran emas ini biasanya hampir menutupi semua bagian songkok dan menyisakan  sekitar  satu sentimeter bagian yang tidak terbalut emas. 

  • Periode Songkok To Bone 

Berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tanggal 4 Juli Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, Bone berubah menjadi kabupaten.

Sedangkan sistem kerajaan di Bone dengan sendirinya berakhir. 

Baca juga: Upiah Karanji, Songkok Rumput yang Tenar dari Gorontalo

Pada masa tersebut, Songkok Pamiring dapat digunakan siapa saja tanpa memandang jabatan atau kebangsaanan. Periode ini disebut Songkok To Bone. 

Namun keberadaan songkok tetap istimewa di masyarakat karena kopiah ini akan menunjukkan karisma pemakainya.  Terlebih jika benang keemasan diganti dengan emas murni. 

Meskipun bukan lagi milik bangsaan, bagi pemakai songkok yang memahami filosofi tidak akan sembarangan memakainya. 

Cara Membuat Songkok Recca

Songkok Recca terbuat dari serat pelepah daun lontar. 

Pelepah daun lontar dipukul-pukul atau dalam bahasa Bugis disebut direcca-recca hingga menyisakan seratnya. 

Serat tersebut biasanya berwarna putih, namun pada dua atau tiga jam kemudian berubah warna menjadi kecoklat-coklatan. 

Serat daun lontar kemudian direndam dalam lumpur selama beberapa hari dan berubah warna menjadi hitam. 

Dari pengolahan serat daun lontar menghasilkan serat kasar dan serat halus.

Untuk pembuatan Songkok Recca menggunakan  serat yang halus. Jika menggunakan serat kasar, maka songkok yang dihasilkan akan menjadi kasar. 

Namun pemilihan serat juga bergantung dengan pemesanan konsumen. 

  • Cara Mengayam Serat menjadi Songkok Recca

Proses penganyaman serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng, yang dibuat dari kayu nangka kemudian dibentuk menyerupai songkok. 

Assareng atau acuan tersebut digunakan untuk merangkai serat menjadi songkok. Ukuran Asserang tergantung dengan besar kecilnya songkok yang akan dibuat. 

Sumber:

disbudpar.sulselprov.go.id

bone.go.id

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Bupati Luwu Timur Umrah di Tengah Larangan Kepala Daerah Lakukan Perjalanan ke Luar Negeri
Bupati Luwu Timur Umrah di Tengah Larangan Kepala Daerah Lakukan Perjalanan ke Luar Negeri
Makassar
Modus Penyelundupan Obat-obatan Daftar G Asal Surabaya ke Makassar
Modus Penyelundupan Obat-obatan Daftar G Asal Surabaya ke Makassar
Makassar
2.486 Pekerja Menganggur, PHK di Sulsel Nomor 6 Se-Indonesia: Industri Nikel Lesu?
2.486 Pekerja Menganggur, PHK di Sulsel Nomor 6 Se-Indonesia: Industri Nikel Lesu?
Makassar
Kejati Sulsel Selamatkan Kerugian Negara Rp 36,6 Miliar dari Kasus Korupsi Sepanjang 2025
Kejati Sulsel Selamatkan Kerugian Negara Rp 36,6 Miliar dari Kasus Korupsi Sepanjang 2025
Makassar
Menhan Sjafrie Ungkap 80 Persen Timah Indonesia Dibawa ke Luar Negeri Tanpa Pajak
Menhan Sjafrie Ungkap 80 Persen Timah Indonesia Dibawa ke Luar Negeri Tanpa Pajak
Makassar
Culik Dan Cabuli Bocah 10 Tahun, Residivis Di Gowa Ditembak Polisi
Culik Dan Cabuli Bocah 10 Tahun, Residivis Di Gowa Ditembak Polisi
Makassar
Menhan Sjafrie Soroti Bencana Sumatera-Aceh: Hutan Lindung Tak Dijaga, Perlu Militer Kuat
Menhan Sjafrie Soroti Bencana Sumatera-Aceh: Hutan Lindung Tak Dijaga, Perlu Militer Kuat
Makassar
Skandal Perselingkuhan Pejabat DPRD di Sulsel Mencuat dari Video Mantan Suami, PKB dan BK Bergerak
Skandal Perselingkuhan Pejabat DPRD di Sulsel Mencuat dari Video Mantan Suami, PKB dan BK Bergerak
Makassar
Realisasi Investasi Makassar Triwulan III 2025 Capai Rp 4 Triliun
Realisasi Investasi Makassar Triwulan III 2025 Capai Rp 4 Triliun
Makassar
Inggris Bantu Makassar Rancang Stadion hingga Integrasi Transportasi
Inggris Bantu Makassar Rancang Stadion hingga Integrasi Transportasi
Makassar
Sengketa Lahan 16 Hektar di Makassar Memanas, PT Hadji Kalla Siapkan Laporan Pemalsuan Dokumen
Sengketa Lahan 16 Hektar di Makassar Memanas, PT Hadji Kalla Siapkan Laporan Pemalsuan Dokumen
Makassar
GMTD Gugat PT Hadji Kalla Imbas Konflik Lahan, Sidang Perdana Dijadwalkan 9 Desember
GMTD Gugat PT Hadji Kalla Imbas Konflik Lahan, Sidang Perdana Dijadwalkan 9 Desember
Makassar
Viral Pria di Gowa Diseret Rombongan Pemotor, Diduga Pelaku Pemerkosaan
Viral Pria di Gowa Diseret Rombongan Pemotor, Diduga Pelaku Pemerkosaan
Makassar
Sekda Sulsel Ingatkan Kepala Sekolah: Jika Tak Mampu Jadi Manajer Talenta Global, Kembali Jadi Guru
Sekda Sulsel Ingatkan Kepala Sekolah: Jika Tak Mampu Jadi Manajer Talenta Global, Kembali Jadi Guru
Makassar
2 Nelayan Tersambar Petir di Perairan Makassar, Satu Tewas, Satu Kritis
2 Nelayan Tersambar Petir di Perairan Makassar, Satu Tewas, Satu Kritis
Makassar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau