Editor
KOMPAS.com - Songkok Recca atau Songkok To Bone adalah kopiah yang berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Songkok Recca merupakan salah satu kerajinan tradisional masyarakat Bone. Songkok Recca biasa digunakan dalam acara resmi maupun untuk oleh-oleh.
Keberadaan Songkok Recca telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2018.
Songkok Recca biasa disebut Songkok Pamiring atau Songkok To Bone. Masing-masing nama songkok memiliki kisah berdasarkan rentang waktunya.
Nama Songkok Recca berawal saat Raja Bone ke-15, Arung Palakka menyerang Tana Toraja (Tator) pada tahun 1683.
Pada saat itu, Bone hanya berhasil menduduki beberapa desa di wilayah Makale-Rantepao. Pada periode tersebut songkok disebut sebagai Songkok Recca.
Ciri khas laskar Bone pada saat itu adalah menggunakan sarung yang diikatkan di pinggang (Mabbida atau Mappangare Lipa).
Sementara laskas Tator mengunakan sarung yang diselempangkan (Massuleppang Lipa) sehingga jika terjadi pertempuran dua pasukan di malam hari sulit membedakan antara lawan dan kawan.
Baca juga: Ribuan Warga Arak Al Quran, Songkok, hingga Tasbih Serba Raksasa
Untuk mensiasatinya, Arung Palakka meminta prajuritnya menggunakan tanda di kepala sebagai pembeda, yaitu Songkok Recca.
Pada tahun 1905, tentara Belanda menyerang Bone. Saat itu, Bone dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri.
Belanda berhasil menawan Lapawawoi sehingga Bone terjadi kekosongan kekuasaan.
Namun Ade Pitue atau lembaga pembantu utama Kerajaan Bone masih berfungsi tapi di bawah kendali Belanda.
Saat itu, Bone mengalami kekosongan pemerintahan selama 26 tahun, antara 1905 hingga 1931.
Belanda kemudian mengangkat Lamappanyukki sebagai Raja Bone ke-32 pada tahun 1931 dengan persetujuan Ade Pitu.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, Songkok Recca menjadi kopiah resmi atau songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan punggawa-punggawa kerajaan.
Untuk membedakan derajat di antara mereka, Songkok Recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring Pulaweng) yang menunjukkan strata pemakainya.
Pada saat itu, tidak semua orang dapat memakai kopiah tersebut kecuali anggota kerajaan.
Pada periode inilah songkok disebut Songkok Pamiring.
Pada saat Songkok Recca menjadi kopiah resmi Kerajaan Bone, La Mappanyukki mengatakan hanya ada dua kerajaan yang dapat memakai Songkok Pamiring, yaitu Mangkau Ri Bone Majjajareng dan Sombayya Ri Gowa.
Dari sinilah awal, Songkok Pamiring terdapat di Gowa yang disebut Songkok Guru, yang kemudian berkembang di daerah sekitar hingga Takalar.
Songkok Recca yang bercorak lapisan emas disebut Songkok Pamiring.
Pada masa Kerajaan Bugis, emas yang melingkar pada Songkok Pamiring mengandung makna.
Lingkaran emas yang semakin tinggi sebagai tanda derajat kebangsawanan pemakainya semakin tinggi.
Besaran lingkaran emas ini biasanya hampir menutupi semua bagian songkok dan menyisakan sekitar satu sentimeter bagian yang tidak terbalut emas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tanggal 4 Juli Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, Bone berubah menjadi kabupaten.
Sedangkan sistem kerajaan di Bone dengan sendirinya berakhir.
Baca juga: Upiah Karanji, Songkok Rumput yang Tenar dari Gorontalo
Pada masa tersebut, Songkok Pamiring dapat digunakan siapa saja tanpa memandang jabatan atau kebangsaanan. Periode ini disebut Songkok To Bone.
Namun keberadaan songkok tetap istimewa di masyarakat karena kopiah ini akan menunjukkan karisma pemakainya. Terlebih jika benang keemasan diganti dengan emas murni.
Meskipun bukan lagi milik bangsaan, bagi pemakai songkok yang memahami filosofi tidak akan sembarangan memakainya.
Songkok Recca terbuat dari serat pelepah daun lontar.
Pelepah daun lontar dipukul-pukul atau dalam bahasa Bugis disebut direcca-recca hingga menyisakan seratnya.
Serat tersebut biasanya berwarna putih, namun pada dua atau tiga jam kemudian berubah warna menjadi kecoklat-coklatan.
Serat daun lontar kemudian direndam dalam lumpur selama beberapa hari dan berubah warna menjadi hitam.
Dari pengolahan serat daun lontar menghasilkan serat kasar dan serat halus.
Untuk pembuatan Songkok Recca menggunakan serat yang halus. Jika menggunakan serat kasar, maka songkok yang dihasilkan akan menjadi kasar.
Namun pemilihan serat juga bergantung dengan pemesanan konsumen.
Proses penganyaman serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng, yang dibuat dari kayu nangka kemudian dibentuk menyerupai songkok.
Assareng atau acuan tersebut digunakan untuk merangkai serat menjadi songkok. Ukuran Asserang tergantung dengan besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Sumber: