Pada masa Kerajaan Bone, bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis sebagai penasihat spiritual kerajaan. Hal ini yang membuat seorang Bissu bukanlah orang sembarangan dan dipercaya merupakan anugerah dari dewata.
Dilansir dari laman Kompas.id, pakar filologi Universitas Hasanuddin dan penerjemah La Galigo, Prof Nurhayati Rahman, mengatakan bahwa sebenarnya, peran Bissu masih penting sebagai penjaga peradaban.
Tidak heran jika Suku Bugis di Sulawesi Selatan memandang Bissu semacam pendeta atau rohaniawan.
Seorang Bissu umumnya menyatukan karakter maskulinitas dan feminin. Suku Bugis menyebut seseorang yang memiliki percampuran gender perempuan dan laki-kaki, lebih tepatnya laki-laki yang memiliki identitas gender perempuan, dengan sebutan calabai.
Nurhayati juga menjelaskan bahwa dalam naskah La Galigo, jelas disebutkan tentang Bissu.
Bissu turun ke bumi bersama To Manurung orang pertama yang turun ke bumi. Bersama To Manurung, turun pula arajang (istana), bendera, senjata, dan beragam benda kerajaan.
Bissu juga yang memegang peran penting sebagai penjaga barang kerajaan, dan dianggap orang suci. Karena itu, mereka menjadi rohaniawan dan penghubung antara manusia dan dewa langit (Botti Langi) dan dan dewa bawah laut (Buri’ Liung).
Senada, dilansir dari laman Kemendikbud, berdasarkan Kitab La Galigo, Bissu diturunkan karena manusia tidak dapat berhubungan dengan penciptanya.
Keadaan ini membuat lara Sang Pencipta, sehingga ia pun menurunkan manusia tanpa kelamin yang jelas, untuk memimpin upacara adat keagamaan.
Bissu pertama yang menjadi penghubung antara manusia dengan dewata bernama Lae-lae, dan sejak itu, Bissu menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone.
Dilansir dari laman Kemendikbud, pada masa lalu, tepatnya pada era pra-Islam, Bissu adalah golongan yang sangat penting dan sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Bugis.
Pada Bissu menyandang tanggung jawab dalam semua upacara keagamaan yang dilaksanakan untuk memuji Sang Pencipta.
Upacara adat keagamaan Mat Temu Taung (upacara syukuran diakhir tahun) menjadi salah satu upacara yang bergantung pada peran Bissu.
Upacara tradisional yang bermakna mencari keselamatan dan perlindungan dari sang pencipta ini harus dipimpin oleh Bissu.
Nyaris tidak ada kegiatan upacara ritual tanpa kehadiran Bissu sebagai pelaksana sekaligus pemimpin prosesi upacara, sehingga ada masa itu, setiap ranreng (semacam wilayah adat) memiliki komunitas bissu.
Di Kerajaan Segeri dan Kerajaan Bone dikenal komunitas Bissu dengan sebutan Bissu Patappuloe (40 orang bissu), yang pada setiap upacara ritual, semua Bissu itu diharuskan hadir.
Pentingnya peran Bissu pada masa lalu membuatnya diberi rumah tinggal dalam kompleks istana dan lahan pertanian, bahkan segala keperluan hidup mereka disiapkan kerajaan.
Namun saat terjadi pergolakan DI/TII di tahun 1950-an, para Bissu menjadi incaran pasukan Kahar Muzakkar.