MAKASSAR, KOMPAS.com - Sebanyak 32 mahasiswa diamankan oleh polisi dalam unjuk rasa yang berujung ricuh saat mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di tiga lokasi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada Senin (26/8/2024).
Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Mokhamad Ngajib mengatakan, puluhan mahasiswa tersebut diamankan karena melakukan aksi anarkis dan merusak sejumlah fasilitas umum di jalan.
"Aksi demo kemarin berjalan kondusif kemudian terjadi kegiatan tambahan (anarkis) yaitu di tiga tempat, di depan UMI, Unibos, dan UNM, jadi semua melakukan kegiatan tambahan yang anarkis yang mengganggu ketertiban umum dengan cara membakar ban dan menutup jalan," kata Ngajib, saat menggelar jumpa pers di Aula Mapolrestabes Makassar, Selasa (27/8/2024).
Ngajib mengungkapkan, dari 32 orang yang diamankan, beberapa di antaranya sudah berstatus sebagai alumni bahkan ada yang masih berstatus pelajar.
Baca juga: Demo di Makassar Ricuh hingga Rusak Mobil Polisi, 2 Mahasiswa Jadi Tersangka
"Dari 32 yang diamankan ada yang mahasiswa, ada yang sudah lulus (alumni), ada juga masih SMA, dan ada yang sudah putus sekolah," ungkap Ngajib.
Unjuk rasa yang bertujuan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak politik dinasti Jokowi di tiga titik di Kota Makassar, Sulsel, ini berakhir dengan bentrokan.
Para mahasiswa terlibat bentrok dengan warga dan polisi di ruas jalan protokol.
Lemparan batu dan bom molotov mewarnai bentrokan tersebut, yang kemudian direspons polisi dengan tembakan gas air mata.
Warga yang merasa terganggu dengan aksi mahasiswa merangsek masuk ke area kampus dan melakukan perusakan fasilitas. Beberapa kaca ruangan pecah akibat lemparan batu.
Baca juga: Kampus UNM Rusak Parah akibat Bentrokan Warga dan Mahasiswa di Makassar
Gelombang unjuk rasa selama beberapa hari terakhir ini digelar mahasiswa di Kota Daeng sebagai reaksi terhadap polemik yang muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang Pilkada oleh DPR RI.
Dalam sidang putusan pada Selasa (20/8/2024), MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang