Westerling sendiri yang memimpin operasi dengan Pasukan DST yang menyasar desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar.
Dari kamp tersebut, pasukan Westerling bergerak ke Kampung Batua, dan mengumpulkan warga dari Borong, Pattunuang, Parang, dan Baray yang dibariskan di lapangan rumput.
Di tempat itu, Westerling mencari orang-orang yang mendukung kemerdekaan Indonesia yang melawan Belanda dan para pengikut Wolter Monginsidi.
Diketahui Wolter Mongisidi merupakan salah satu tokoh yang membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946 dan melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda.
Kemudian, orang-orang yang dicurigai atau dituduh memberontak langsung ditembak mati di tempat. Kekejaman tersebut pun berlangsung selama pasukan Westerling beroperasi.
Dilansir dari laman Pemerintah Kabupaten Bone, aksi pertama operasi Pasukan DST dimulai pada tanggal 11 malam menjelang 12 Desember 1946.
Pada fase pertama, orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Kemudian di fase kedua, mereka yang masuk dalam golongan kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh juga dieksekusi.
Metode yang dilakukan Westerling ini dikenal dengan nama “Standrecht” yaitu aksi pengadilan dan eksekusi di tempat.
Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan dilakukan Westerling dengan pola tersebut.
Dilansir dari laman Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan, dalam tulisan sejarawan Belanda yang juga merupakan putra salah seorang aktor pembantaian tersebut, Marteen Hidskes dalam bukunya yang berjudul "Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya"menyebut bahwa aksi Westerling yang dilakukan bersama 123 orang koloninya terjadi pada tanggal 10 Desember di Makassar.
Aksi kejam pasukan Westerling meluas pada 17-31 Desember 1946 kemudian menyasar Gowa, Takalar, Jeneponto, Polombangkeng, Binamu.
Lalu, pada 2-16 Januari 1947 wilayah pembantaian Westerling meluas ke Bantaeng, Gantarang, Bulukumba, Sinjai.
Selanjutnya pada 17 Januari-5 Maret 1947, pasukan Westerling juga masuk ke daerah Pangkajene, Segeri, Tanete, Barru, Parepare, Polewali Mandar, Sidenreng, Rappang, dan Suppa.
Pada saat delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB di tahun 1947, dilaporkan korban Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan sejak bulan Desember 1946 telah mencapai 40.000 jiwa.
Namun pada 1969, pihak Belanda memperkirakan hanya sekitar 3.000 rakyat Sulawesi Selatan tewas akibat aksi pasukan Westerling.