Kaum pribumi terlibat dengan berbekal semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang berarti "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.
Keberhasilan ini disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal berkobarnya Perang Diponegoro.
Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya.
Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan Pangeran Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
Perang Diponegoro pun berkobar, antara penduduk pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dengan pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock.
Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dengan berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya sehingga menyulitkan Belanda untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Hal itu membuat Jenderal De Kock menerapkan siasat perang baru yang dikenal dengan nama Benteng Stelsel atau siasat Benteng.
Strategi Benteng Stelsel atau siasat Benteng adalah dengan mempersempit ruang gerak agar lawan kesulitan untuk melarikan diri, yang berhasl membuat daerah perlawanan makin sempit dan pasukan Pangeran Diponegoro terpecah belah.
Perjuangannya berakhir saat pasukan Pangeran Diponegoro dijepit di Magelang oleh Jenderal De Kock.
Pangeran Diponegoro kemudian setuju untuk bertemu Jenderal De Kock di Magelang.
Demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro rela menyerahkan diri dan diasingkan ke Gedung Keresidenan Semarang yang berada di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux.
Pada 30 April 1830 Pangeran Diponegoro diberangkatkan dari Batavia untuk diasingkan ke Manado. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam.
Dari Manado, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan ke pengasingannya di Makassar, tepatnya di Benteng Fort Rotterdam.
Pangeran Diponegoro diketahui menjalani pengasingan di Makassar selama hampir 25 tahun yaitu sejak tanggal 12 Juni 1830.
Dalam pengawasan yang sangat ketat, Pangeran Diponegoro akhirnya meninggal dunia dalam pengasingannya di Makassar karena usia tua pada 8 Januari 1855.