LUWU, KOMPAS.com – Menjadi marbut adalah pilihan. Itulah yang dilakukan Ahmad Adam (54), seorang marbut di Masjid Agung Luwu Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Sebelum menjadi marbut, Ahmad bekerja di luar negeri dengan gaji besar. Pekerjaan itu ditinggalkannya. Dia pulang kampung dan kini menjadi marbut masjid yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
Baca juga: Kisah Azwar, Mahasiswa S2 yang Jadi Marbot, Merasa Keren di Mata Allah
Saat Kompas.com berkunjung ke Masjid Agung Luwu Belopa pada Selasa (26/3/2024), Ahmad sedang membereskan kabel-kabel menjuntai di dalam ruangan.
Sembari membersihkan ruangan masjid, Ahmad bercerita, pekerjaan ini dilakoninya sejak 2012.
“Saat itu masih sekedar apa yang bisa tenaga saya sumbangkan untuk masjid. Memang belum lama saya masuk sebagai pengurus dan bekerja sebagai tekhnisi di sini, misalnya ada kerusakan, jaringan kelistrikan dan merawat toilet apalagi kalau ada yang buntu saya dan teman lainnya memperbaiki," kata Ahmad.
"Hal-hal yang perlu diperbaiki adalah tugas saya, menyangkut Azan ada khusus yang ditugaskan oleh pengurus masjid yaitu ada 2 orang termasuk imam masjid dan mereka secara bergantian, kalau saya hanya sekali-kali saja kalau mereka tidak ada,” sambungnya.
Ahmad tidak bergantung sepenuhnya dari insentif masjid.
Baca juga: Cerita Eka, Merantau dari Jakarta demi Menjadi Marbot di Masjid Bersejarah Makassar
“Yang diberikan berasal dari masjid ini setiap bulan, selain itu juga kadang diberikan jika ada pekerjaan tambahan yang besar di masjid ini seperti pengecatan dan sebagainya, nilainya itu sesuai pembicaraan dan bobot pekerjaan,” ucap Ahmad.
Ahmad memiliki 4 orang anak yang sedang menempuh belajar di bangku SMA, SMP, SD dan satu orang belum sekolah. Untuk menghidupi anaknya insentif dari masjid menjadi tambahan untuk biaya hidup dan sekolah anaknya.
“Besaran insentif tidak usah saya sebutkan, saya juga menjalani usaha lain yang saya bisa kerjakan, misalnya usaha jual beli hasil bumi kecil-kecilan meski kondisi hasil bumi seperti cingkeh saat ini agak anjlok selama 4 tahun terakhir karena beberapa faktor seperti cuaca, harga dan kualitas menurun,” ujar Ahmad.
“Bicara soal kecukupan dari subsidi masjid memang tidak, tetapi sangat membantu, saya berharap dan berupaya agar apa yang bisa saya sumbangkan untuk masjid ini dapat terlaksana dan memiliki berkah,” tambahnya.
Ahmad mengatakan, sebelum jadi marbut di masjid, dia sempat bekerja di Australia selama 6 tahun dengan gaji yang cukup besar. Namun, kondisi kehidupan beragama yang ia hadapi membuatnya berpikir.
“Sebenarnya nurani saya berkata ingin memperbanyak amal ibadah terutamaamaliah ramadhan dan dzikir, ya memang ketika saya selalu teringat 6 tahun bekerja di Australia dengar azan saja tidak pernah, apalagi mau salat berjamaah, biasa cuma 12 orang,” tutur Ahmad.
Kondisi di lingkungannya tempat bekerja dengan nuansa jauh dari kehidupan islami, membuatnya berpikir dan rela meninggalkan tempat kerjanya.
“Di situlah saya berpikir, ya Allah memang besar saya dapat bulanannya, tetapi apakah harapan ini uang yang sekian banyak dan kalau besok lusa saya meninggal apa amalan yang bisa saya bawa sedangkan amal ibadah saya minim, dengan dasar itu saya coba semoga Allah selalu mendekatkan saya dengan masjid,” terang Ahmad.