Salin Artikel

Tradisi "Hui lo Kunu", Berburu Kacang dan Pisang Saat Pertengahan Ramadhan di Batudaa Gorontalo

GORONTALO, KOMPAS.com – Ratusan atau mungkin ribuan orang dari berbagai desa di Kabupaten Gorontalo memadati lapangan Porbat di Desa Payunga, Kecamatan Batudaa, Gorontalo, Selasa (26/3/2024) malam tadi.

Lapangan itu menggelar semacam pasar malam. Ada banyak orang berjualan baju, sandal, makanan. Yang paling banyak menggelar lapak pisang dan kacang.

Pisang dan kacang itu rupanya untuk dilombakan. Siapa yang paling cepat makan pisang dan kacang, dialah pemenangnya.

Selain itu, ada juga lomba busana muslim anak, azan, dan menyanyi.

Bukan pasar malam biasa. Keramaian semalam merupakan tradisi Hui lo Kunu atau pasar kunut, tradisi yang selalu ada setiap pertengahan Ramadhan di Batudaa.

Hui ko kunu selalu dinantikan masyarakat dari berbagai desa di sekitar Kabupaten Gorontalo, juga di luar daerah Gorontalo setiap Ramadhan.

“Tradisi malam kunut dimulai pada tanggal 24 Maret dan puncaknya tadi malam, 26 Maret,” kata Sartika Sulaiman, warga Desa Pilobuhuta Kecamatan Batudaa, Rabu (27/3/2024).

Bagi warga desa, hitungan pelaksanaan malam kunut ini dilaksanakan selama 3 hari dengan puncaknya di pertengahan Ramadhan.

Sartika menjelaskan, malam kunut ini merupakan kebiasaan masyarakat desa Payunga yang menggelar berbagai kegiatan seperti pasar malam dengan berbagai keramaian di dalamnya.

“Malam kunut ada pasar malam, ada yang menjual baju, sandal, makanan, paling banyak jual pisang dan kacang,” ujar Sartika.

Para penjual ini tidak perlu diundang untuk datang ke lapangan Porbat. Mereka sudah tahu dari kebiasaan yang sudah turun-temurun ini.

Tradisi Hui Lo Kunu

Hasil penelitian sejumlah mahasiswa program studi Ilmu Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo menyebutkan, tradisi Hui lo Kunu sudah ada sejak 1901.

Saat itu pasar Batudaa dibangun menggunakan kayu dan beratapkan daun kelapa. Tahun selanjutnya dibangun sekolah masyarakat pertama kali di Batudaa. Dan berikutnya dibangun sebuah masjid yang diberi nama Darussalam.

Dalam penelitian yang dilakukan Irwin Yunus, Rahmiyati Padjuge, Rahma Nur Amalia dan Ulfa Samaun menyebutkan bahwa masjid, sekolah, dan pasar menjadi tempat berkumpulnya masyarakat.

“Sejumlah sumber di lapangan mengatakan, 3 bangunan yaitu masjid, sekolah dan pasar menjadi tempat berkumpulnya masyarakat di pegunungan dan yang bermukim di bawah pegunungan,” kata Rahma Nur Amalia salah satu peneliti ditemui Kompas.com, Selasa (26/3/2024) malam.

Rahma menjelaskan, sejarah tradisi hui lo kunu diawali masyarakat dari gunung turun untuk mandi di sumur tua masjid Darussalam. Mereka berbondong-bondong meninggalkan rumah membawa keluarga.

Warga dari gunung ini percaya, mandi di sumur tua dapat menyembuhkan penyakit, mempermudah urusan jodoh, juga membersihkan tubuh dari najis sehingga memberikan kenyamanan dan kekhusyukan dalam beribadah pada pertengahan Ramadhan.

“Setelah mandi di sumur tua mereka melaksanakan shalat isya dan tarawih berjamaah di masjid Darussalam. Setelah tarawih mereka pergi ke pasar, berkumpul bersilaturahim sambil bercengkrama menikmati bulan purnama,” tutur Rahma.

Pisang dan kacang jadi sajian utama

Hal menarik dari tradisi ini adalah hadirnya buah pisang dan kacang sebagai sajian utama.

Kedua buah ini menjadi ciri khas pada tradisi ini.

Menurut para peneliti muda IAIN Sultan Amai, pisang dan kacang merupakan hasil utama kebun para warga.

Dari kebiasaan mandi dan berkumpul di tempat yang selalu ramai, kemudian muncul gagasan menjual pisang dan kacang yang merupakan hasil kebunnya.

Pisang dan kacang juga merupakan makanan yang menjadi buah tangan untuk antaran remaja pria kepada teman gadisnya pada masa lalu.

“Awalnya hanya seorang yang menjual pisang dan kacang menggunakan lapak seadanya, menggunakan penerangan lampu minyak, tetapi seiring berjalannya waktu, para penjual lain juga ikut sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat,” ungkap Rahma.

Tradisi makan pisang dan kacang ini juga merupakan simbol dari rasa syukur warga desa kepada Allah.

Tradisi hui lo kunu masih terjaga hingga kini, bahkan semakin semarak dengan hadirnya berbagai pedagang dan pengunjung dari luar daerah. Suasana ini menjadi magnit yang menarik bagi wisatawan untuk menikmati pisang dan kacang dari Desa Payunga.

Hui lo kunu bisanya dimulai pada malam 13 Ramadan sampai puncaknya tanggal 15 Ramadan. Sejak sore para pedagang sudah Bersiap-siap di Lapangan Porbat, Namun puncak keramaian terjadi setelah salat Tarawih. Semua warga tumpah ruah berkumpul di lapangan ini, mereka memburu kacang dan pisang.

https://makassar.kompas.com/read/2024/03/27/114654278/tradisi-hui-lo-kunu-berburu-kacang-dan-pisang-saat-pertengahan-ramadhan-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke