Salin Artikel

Cerita Pembangunan Masjid Almuttaqin Yosonegoro Gorontalo, Berawal dari 4 Orang

GORONTALO, KOMPAS.com – Masjid Almuttaqin yang berada di Desa Yosonegoro, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo sudah berdiri lebih dari 100 tahun.

Sejak dibangun pada 1914 oleh orang-orang Jawa Tondano (Jaton), hingga kini masjid tua ini masih menyimpan keasliannya.

Penduduk Jawa Tondano merupakan etnis baru percampuran Suku Jawa, Suku Sumatra (Palembang, Aceh), Suku Banjar, Suku Arab dengan Suku Minahasa.

Memang, ada beberapa kali renovasi. Namun benda-benda seperti tiang penyangga, mimbar, beduk, dan kentongan sudah ada sejak dahulu dan masih dipakai hingga kini.

Masjid Almuttaqin dibangun setelah orang-orang Jawa Tondano membuat pemukiman di kawasan itu.

Masjid ini disangga 16 tiang dari kayu besi. Beda dengan yang lain, empat tiang utama yang ada di tengah masjid memiliki ukiran.

“Empat tiang utama yang berada di tengah ada ukiran di bagian bawahnya. Sedangkan tiang yang berada di pinggir merupakan batas luar yang ada dinding kayunya,” kata Arifin Mayang (64) Imam masjid Almutttaqin, Sabtu (23/3/2024).

Ke-12 tiang yang berada di area paling luar masih ada di dalam ruangan. Jaraknya dengan bagian luar ruangan yang dijadikan serambi sekitar 3 meter.

Sama seperti keranda, mimbar, beduk, dan kentongan, ke-16 tiang penyangga ini adalah yang digunakan para leluhur Desa Yosonegoro saat membangun masjid.

Di Masjid Almuttaqin, ada tangga permanen yang dipasang di dekat kentongan, di dalam ruangan masjid.

Dari penampilannya, tangga yang mengarah ke loteng masjid ini seperti sudah ada sejak lama.

"Tidak ada yang berani naik tangga ke atas, saya sendiri tidak pernah," kata Abd Rahman Rivai (85) salah seorang warga Yosonegoro.

Dia bercerita, saat dirinya kecil dulu, para orang tua di desa melarang siapapun untuk menaiki tangga itu. Mitosnya bisa sakit.

Pembangunan masjid

Saat orang Jawa Tondano datang ke Gorontalo pada awal 1900-an, mereka awalnya hendak ditempatkan di Desa Huidu Utara.

Namun lahan di kawasan ini kering dan air susah didapat. Masyarakat Jawa Tondano khawatir tidak bisa bercocok tanam di kawasan ini.

Akhirnya mereka meminta pindah lokasi dan ditempatkan di daerah yang kini dikenal dengan nama Desa Yosonegoro.

Beberapa tahun setelah wilayah tersebut dihuni dan menjadi pemukiman, warga mulai membangun masjid pada 1914. Pembangunan selesai dilakukan pada 1915.

Awalnya, masjid Almuttaqin hanya memiliki satu pintu menghadap ke jalan, tanpa jendela. Tak heran, masjid ini dulu terasa gelap.

Menurut Rusdin Muhammad Rifai (81), Ketua Lembaga Adat Jawa Tondano, empat tiang utama masjid Almuttaqin dipasang oleh empat orang. Padahal, kayu sepanjang 12 meter ini sangat berat.

“Para mbah kami pada masanya adalah para pejuang yang memiliki ilmu tinggi, mereka telah teruji di Perang Jawa, mereka juga dikenal sebagai ahli agama. Dari merekalah ilmu-ilmu ini diturunkan kepada anak cucu sebagai bekal menyebarkan agama Islam,” ujar Rusdin Rifai.

Menurut cerita para leluhur, kata Rusdin, keempat orang ini tidak mengalami kesulitan saat memasang tiang utama yang dijadikan soko guru.

“Masing-masing berbagi tiang yang akan didirikan setelah melaksanakan zikir,” ujar Rusdin.

Cerita pembangunan masjid ini pun terus diwariskan ke generasi muda yang ada saat ini.

Hal ini seperti yang dialami Arifin Mayang sewaktu kecil. Dia mengaku mendapat cerita dari seseorang bernama nenek Sodah Zees.

Nenek Sodah berkata, sebelum tiang soko guru dipasang, para orang tua melakukan ritual menyiram air bunga melati ke tiang tersebut. Masing-masing tiang juga disucikan dengan diwudhukan sebagaimana orang akan melaksanakan shalat, setelah itu dilantunkan azan.

“Kami masih mengingat cerita nenek Sodah Zees, bagaimana leluhur kami membangun masjid ini dengan laku ritual penuh tawadu,” ujar Arifin Mayang.

Setelah tiang-tiang utama berdiri, mulailah dibangun struktur lainnya termasuk dinding dan perlengkapan lainnya yang juga terbuat dari kayu.

Laku ritual dalam pembangunan masjid

Laku ritual dalam pendirian masjid ini memberi makna yang dalam bagi warga Jawa Tondano.

Bagi mereka, masjid adalah pusat kehidupan dalam tata hubungan antara makhluk dan Sang Pencipta Allah SWT, serta tata hubungan sosial dalam membangun peradaban dengan sesama manusia.

Keberadaan desa Yosonegoro dan masjid Almuttaqin ini tidak lepas dari peran mbah Rahmat Tumenggung Zees.

Dia adalah toko kunci keberhasilan warga dalam mengembangkan kehidupannya di daerah baru. Rahmat Tumenggung Zees bersama Amal Modjo salah seorang cicit Kiyai Modjo yang bekerja sebagai guru.

Amal Modjo merupakan lulusan kweekschool (sekolah guru) Tondano yang kemudian diangkat sebagai guru dan oleh Pemerintah Hindia Belanda ditugaskan ke Gorontalo pada tahun 1902. Amal Mojo adalah anak Djumal Modjo, Djumal ini adalah anak lelaki tertua pasangan Ghazaly dan Ringkingan.

Ketokohan Rahmat Tumenggung Zees sangat kuat dan ditaati warga jawa tondano, ia yang pertama menjadi kepala desa dan imam masjid Yosonegoro.

Rusdin Rifai juga menceritakan sebelum para leluhur mereka membangun masjid ini, mereka melaksanakan salat Jumat di masjid Telaga yang jaraknya sekitar 22 km.

“Para mbah (kakek) kami berangkat setiap Kamis sore ke Telaga dan pulang sampai di rumah pada sore dengan menggunakan pedati,” tutur Rusdin Muhammad Rifai mantan kepala desa Yosonegoro yang juga salah satu keturunan pahlawan nasional KH Ahmad Rifai.

Perjuangan untuk menunaikan shalat Jumat ini sangat sulit karena jarak yang jauh, namun orang-orang jawa tondano yang dikenal taat beragama ini apapun akan ditempuhnya agar bisa melaksanakan kewajiban perintah Allah SWT.

“Jalannya tidak semulus sekarang, hanya ada jalan tanah kecil melewati kebun-kebun, sungguh pengalaman hidup leluhur kami yang luar biasa,” ucap Rusdin.

Rusdin membuka rahasia kunci sukses pemukiman orang-orang jawa tondano di Gorontalo ini adalah selalu menumbuhkembangkan musyawarah mufakat, nilai ini diwariskan para leluhur yang terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan permukiman awal di Yosonegoro ini kemudan diikuti oleh gelombang migrasi berikutnya dari Tondano, hingga kemudian munculllah Desa Kaliyoso Kecamatan Dungaliyo sekitar tahun 1915 dan Desa Reksonegoro Kecamatan Tibawa pada tahun 1925.

Dari Desa-desa inilah kemudian berkembang Desa Mulyonegoro Kecamatan Pulubala Kabupaten Gorontalo, Desa Rejonegoro Kecamatan Paguyaman dan Desa Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Boalemo.

https://makassar.kompas.com/read/2024/03/26/050500378/cerita-pembangunan-masjid-almuttaqin-yosonegoro-gorontalo-berawal-dari-4

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke