Salin Artikel

Cerita Eka, Merantau dari Jakarta demi Menjadi Marbot di Masjid Bersejarah Makassar

MAKASSAR, KOMPAS.com- Keindahan Masjid Nurul Jamaah yang dibangun dengan gaya arsitektur Turki, ternyata menyimpan cerita penuh makna bagi para marbot.

Masjid Nurul Jamaah ini terletak di Jalan Kandea 2, Kecamatan Bontoala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Berdasarkan informasi, Masjid berwarna cokelat dengan beberapa kubah emas itu dibangun oleh bangsawan suku Bugis berketurunan Turki benama Lajagiru.

Masjid ini juga menjadi saksi bisu penyebaran agama Islam, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan. Masjid megah berlantai dua ini didirikan pada 1635.

Awalnya Masjid Nurul Jamaah berukuran kecil. Namun seiring waktu terus mengalami perkembangan dan kini bisa menampung 200 jemaah.

Di bagian belakang Masjid, terdapat juga makam Lajagiru yang masih kerap dikunjungi para sanak keluaganya dari Turki.

Di balik cerita sejarah Masjid, terdapat juga cerita kehidupan bagi para marbot yang setia hari merawat Masjid tua itu.

Salah satu marbot Masjid Nurul Jamaah adalah Eka Gunawan Setiadi. Dia baru dua tahun menjadi marbot menggantikan marbot yang lama.

Eka merupakan perantau asal Jakarta. Dia meninggalkan keluarga dan tiga anaknya di Jakarta dan merantau ke Makassar sejak 2019.

"Saya baru dua tahun jadi marbot. Marbot yang lama dan sudah puluhan tahun jadi marbot, sudah meninggal dunia," kata pria berusia 50 tahun tersebut ditemui Kompas.com, Kamis (21/3/2024).

Eka mengungkapkan, kehidupan sebagai marbot tidak hanya tentang memperhatikan keindahan fisik masjid. Ada tanggung jawab harian yang juga harus dipenuhi.

"Ada empat marbot di sini, dan setiap orang memiliki tugasnya masing-masin, saya tugasnya dari membersihkan karpet, itu dibagi juga ada yang merawat lantai dua dan mimbar, serta menjaga kebersihan toilet dan tempat wudhu," bebernya.

Eka bilang, kehidupan ekonomi para marbot juga didukung oleh kotak amal dan sedekah para warga sekitar masjid.

"Di sini kita pendapatan dibagi dari kotak amal, seminggu sekali, setiap hari Jumat langsung dibagi," ungkapnya.

Eka juga tidak mempermasalahkan soal pendapatannya sebagai marbot yang tidak menentu. Namun dirinya mengaku pekerjaannya sebagai marbot adalah ibadah.

"Alhamdulillah, cukuplah untuk kita hidup, kita kan tujuannya ibadah ikhlas toh, bukan kita disini cari gaji. Kalau gaji lebih baik kita cari kerja lain. Disini kita ibadah, kita sergahkan rezeki ke Allah saja," ucapnya tersenyum.

Eka juga menjelaskan selama dua tahun menjadi marbot, rezeki yang diberikan Allah juga tidak terduga. Kata dia, sebelum dirinya menjadi marbot dulunya dia bekerja sebagai supir.

Saat menekuni pekerjaannya itu, ayah tiga anak ini sama sekali kesulitan untuk membeli kendaraan pribadi.

Namun, setelah menjadi marbot dirinya mendapatkan rezeki dan mempu membeli satu unit motor yang digunakannya untuk beraktivitas.

"Alhamdulillah rezeki, saya dapat motor, saya kumpul-kumpulkan dari sedakah jemaah. Sebelum saya jadi marbot saya itu kerja supir," tandasnya.

Sementara, salah satu warga Saparuddin mengungkapkan bahwa peran marbot bagi perawatan masjid sangatlah penting.

"Kalau saya pasti sangat penting, membantu merawat kondisi masjid juga setiap hari pastinya," ungkapnya.

https://makassar.kompas.com/read/2024/03/21/211551478/cerita-eka-merantau-dari-jakarta-demi-menjadi-marbot-di-masjid-bersejarah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke