Salin Artikel

Sigajang Laleng Lipa, Tradisi Pertarungan dalam Sarung Khas Masyarakat Bugis

KOMPAS.com - Salah satu tradisi khas masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan Sigajang Laleng Lipa.

Tradisi Sigajang Laleng Lipa atau Sitobo Lalang Lipa ini disebut sebagai tradisi yang mengerikan karena jika dilakukan maka bisa merenggut nyawa pelakunya.

Walau begitu, tradisi baku tikam ini rupanya sangat terkait dengan cara suku Bugis dalam mempertahankan dan menjaga harga diri.

Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Makassar, Sigajang Laleng Lipa dilakukan dengan cara berduel dalam satu sarung dengan menggunakan senjata berupa badik.

Dalam bahasa setempat Sigajang Laleng Lipa memang memiliki arti saling tikam dalam satu sarung.

Tidak heran jika tradisi ini terbilang ekstrem karena kedua pelaku akan menggunakan nyawa sebagai taruhannya.

Sebenarnya, tradisi Sigajang Laleng Lipa menjadi sebuah cara masyarakat suku Bugis untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan harga diri.

Tradisi ini menjadi jalan terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama jika harga diri telah terenggut.

Sesuai adat istiadat suku Bugis yang menjunjung tinggi budaya siri’ (harga diri), tradisi ini berkaitan dengan petuah Bugis berbunyi “ade’ ri popuang, siri’ ri atuoang” yang berarti “adat dipertuhan, harga diri dipertuan”.

Hingga kemudian, Sigajang Laleng Lipa dilakukan untuk menentukan kebenaran atau menyelesaikan masalah bagi kedua pihak yang yang bersengketa.

Tradisi duel dengan menggunakan badik ini juga berkaitan dengan anggapan yaitu apabila badik telah keluar dari sarungnya maka pantang terselip di pinggang sebelum terhujam di tubuh lawan.

Dilansir dari laman Kemendikbud, menilik dari sejarahnya, sebenarnya dahulu Sigajang Laleng Lipa dilakukan bukan sekadar untuk membuktikan kejantanan si pemenang atau sebagai lambang kekuatan, tetapi juga menjadi sebuah seni.

Awalnya Sigajang Laleng Lipa hanya berupa permainan rakyat, meskipun akhirnya berakhir dengan kematian.

Seiring waktu, ada juga arung (bangsawan) yang juga menjadi passigajang. Akhirnya banyak juga arung yang mate sigajang.

Bukan hanya itu, Sigajang Laleng Lipa juga sebagai salah satu media menentukan kebenaran bagi mereka yang bersengketa.

Dalam tradisi ini, bagi yang bisa bertahan hidup adalah yang benar atau pemenang, sementara yang mati adalah pihak yang salah atau kalah.

Mengenai bagaimana sebenarnya tradisi Sigajang Laleng Lipa dilakukan, ternyata ada aturan-aturan tertentu yang perlu diperhatikan.

Dilansir dari laman Tribun-Timur.com, mula-mula kedua pihak yang berseteru akan saling berhadapan di dalam sebuah sarung.

Keduanya pihak yang bertikai tidak hanya harus mampu menjaga keseimbangan,namun juga akan mengadu kekuatan hingga ada salah satu yang kalah.

Kekalahan ini bisa karena salah satunya keluar dari sarung, menyerah, atau bahkan meregang nyawa.

Namun walaupun terlihat mengerikan dan meski nyawa jadi taruhan, sesudahnya masing-masing pihak yang bertikai tidak boleh lagi menyimpan dendam dan harus menganggap perkara tersebut selesai.

Seiring berjalannya waktu, tradisi Sigajang Laleng Lipa memang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Namun tradisi ini tetap dijaga dan menjadi warisan budaya setempat ang tidak jarang dipentaskan di atas panggung.

Sebagai sebuah hiburan, gerakan Sigajang Laleng Lipa dipertunjukkan dengan iringan suling dan gendang.

Meski tetap bertarung dengan sarung dan masing-masing peserta membawa sebilah badik, namun tradisi Sigajang Laleng Lipa ini tidak lagi harus mempertaruhkan nyawa.

Sumber:
makassarkota.go.id  
warisanbudaya.kemdikbud.go.id  
makassar.tribunnews.com 
makassar.tribunnews.com  
antarafoto.com  

https://makassar.kompas.com/read/2024/01/16/213317178/sigajang-laleng-lipa-tradisi-pertarungan-dalam-sarung-khas-masyarakat-bugis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke