Salin Artikel

Kisah Adrian, Penyandang Disabilitas di Luwu yang Semangat Jadi Arsitek

LUWU, KOMPAS.com – Adrian (13), pelajar madrasah tsanawiyah (MTs) Bua kelas VII, tinggal di pinggir pantai Kampung Nelayan Dusun Campae, Desa Padang Kalua, Kecamatan Bua, kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Disabilitas fisik bagian tangan dan kaki sejak lahir ditambah tidak lancar berbicara, bukan halangan bagi Adrian untuk sekolah dan mengejar cita-cita.

Saat dijumpai Kompas.com di rumahnya, Adrian mengaku suka mengisi waktu luang dengan menggambar, belajar bahasa Inggris, atau mengerjakan soal matematika, pelajaran kesukaannya.

Mimpi Adrian, suatu saat nanti dia bisa menjadi seorang arsitek.

Adrian ingin menjadi arsitek karena suka menggambar, mewarnai gambar rumah, dan berhitung.

“Saya suka pelajaran Matematika, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan menggambar, dan cita-cita saya ingin menjadi seorang arsitek,” kata Adrian.

Adrian gigih, senang dan semangat bisa terus menikmati pendidikan di jenjang menengah pertama yaitu di MTs Bua. Sebab, di sekolah itu dia memiliki banyak teman.

“Saya senang masih bisa lanjutkan pendidikan, di sekolah banyak teman saya dan mereka tidak mengganggu saya. Mereka suka dengan saya, baik semua,” ucap Adrian.

Setiap hari, Adrian melewati pematang tambak empang yang becek setiap usai hujan untuk pergi sekolah.

Adrian bersyukur, ada tukang ojek langganan yang mengantar sekolah dan pulangnya dijemput sang ayah, Mulyadi.

“Saya sulit untuk jalan kaki dengan kondisi saya ini, jadi harus diantar. Kalau dulu waktu SD biasa digendong belakang oleh bapak atau ibu sampai di sekolah,” ujar Adrian.

Orang tua Adrian, Mulyadi (40) mengatakan, jarak dari rumah ke sekolah hampir 2 kilometer.

mulyadi tidak bisa mengantar Adrian di pagi hari karena harus melaut mencari ikan pasa dini hari dan pulang sekitar tengah hari.

karena itulah, dia menyewa jasa ojek setiap pagi untuk mengantar Adrian sekolah.

“Demi dia sekolah, mau tidak mau saya sewakan ojek setiap pagi dan untuk pulangnya saya jemput setiap sore. Biaya sewa ojek selama sebulan Rp 300.000 hanya mengantar saja, karena kalau antar jemput biayanya lebih tinggi, sementara penghasilan saya sekadar cukup kebutuhan sehari-hari,” tutur Mulyadi.

Mulyadi menuturkan, dalam perjalanan saat menjemput Adrian terkadang terkendala dengan kondisi di jalan yang licin saat hujan, atau motor mengalami mogok.

“Kadang harus turun dalam kondisi panas atau pada saat hujan bilamana motor rusak di perjalanan, jadi terpaksa saya dorong motor dan Adrian tetap saya naikkan di atas motor,” tambah Mulyadi.

Lebih parah lagi saat Mulyadi berada di laut cari ikan, sementara Adrian sudah harus dijemput tetapi kondisi air surut.

“Terpaksa saya harus jalan kaki dulu karena perahu belum memungkinkan untuk digunakan saat air surut, lalu menjemputnya,” sambung Mulyadi.

Adrian Dapat Keajaiban

Di sekolah, pihak sekolah memberi toleransi untuk tidak berolah raga demi menjaga kondisi kesehatannya terutama kakinya, meski demikian Adrian kadang tetap ikut olah raga seperti teman-temannya.

Suatu ketika Adrian ke Mushlah, kakinya menginjak batu kerikil, iapun jatuh dan merasakan ngilu, kakinya terasa disetrum.

“Di depan Mushala kaki kanan saya yang cacat ini injak batu, saya jatuh lalu saya duduk sambil menggambar sama teman waktu itu saya merasakan seperti disetrum listrik dan terasa ngilu. Setelah rasa ngilu hilang saya pulang ke rumah dan kondisi saya jalan sudah berbeda dari sebelumnya. Kaki saya sudah rapat seutuhnya di tanah, padahal dulu tidak,” imbuh Adrian.

Mulyadi pun sempat heran melihat cara berjalan Adrian yang berbeda dari biasanya.

“Waktu itu hari Jumat, saya datang jemput dia yang sedang duduk di depan Mushla. Waktu itu saya belum tahu kondisinya. Begitu sampai di depan rumah ibunya heran melihat Adrian berjalan lain dari biasanya, kami tanya kenapa kakimu begitu. Adrian bilang sudah rapat pak. Saya tanya bagaimana ceritanya sampai bisa begitu, dia ceritalah kalau dia menginjak batu sampai jalannya agak membaik, syukurlah ada perubahan,” jelas Mulyadi.

Ibu Adrian, Hajerah (35) mengatakan, Adrian lahir dalam kondisi ssehat dan normal.

Namun ssaat usianya 2 tahun, kaki Adrian mulai tampak bengkok dan kerap mengalami panas demam tinggi atau kejang.

“Di umur itu kakinya secara tiba-tiba mengalami cacat. Saya kira ada benda yang menusuk kakinya, tetapi tidak ada. Cuma masalah jalan memang agak lambat, 2 tahun baru bisa jalan,” terang Hajerah.

“Dia juga sering kena demam tinggi atau kejang-kejang sejak umur 3 tahun. Kalau kena (kejang), kami bawa ke rumah sakit atau puskesmas, tapi syukurlah sekarang sudah tidak lagi,” tambah Hajerah.

Semangat Adrian untuk tetap sekolah menjadi motivasi bagi kedua orangtuanya untuk tetap menyekolahkan demi cita-cita anaknya.

Dengan keterbatasan Adrian dan keterbatasan ekonomi, orang tuanya berharap Adrian bisa mendapat bantuan berupa pemenuhan keperluan sekolah termasuk sepatu yang layak untuk Adrian sebagai penyandang disabilitas.

“Kalau ada yang bantu kami sangat berterima kasih demi membantu tercapainya cita-cita anak saya,” harap Mulyadi.

https://makassar.kompas.com/read/2023/11/10/074759478/kisah-adrian-penyandang-disabilitas-di-luwu-yang-semangat-jadi-arsitek

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke