Salin Artikel

Bina 126 Anak Disabilitas, Sekolah SLB di Makassar Kekurangan Guru

Sekolah yang terletak di Jalan Kapten Piere Tendean, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, ini sama seperti sekolah pada umumnya. Namun, yang siswanya merupakan penyandang disabilitas.

Di antaranya, ada tuna rungu (tidak dapat mendengar), tuna grahita (lambat belajar), down syndrome (kelainan genetik), tuna daksa (ketidaksempurnaan fisik).

Serta anak cerebral palsy (kelainan pada otak yang mempengaruhi kendali otak atas sistem saraf dan otot) dan anak autis (gangguan perkembangan saraf).

Saat Kompas.com berkunjung SLB YPAC Anging Mammiri Makassar, hanya beberapa siswa yang hadir. Mereka terlihat mengenakan pakaian pramuka.

Ada yang bermain di taman sekolah ada juga yang lari keluar masuk dari dalam kelas sambil bercanda dan ketawa bersama seorang guru perempuannya.

Suasana di sekolah pun tampak sepi, jumlah siswa terlihat berada di area sekolah hanya sekitar 10 orang. Mereka menunggu jemputan untuk pulang ke rumah.

Kepala Sekolah SLB YPAC Anging Mammiri, Mukhlis mengatakan, suasana sekolah tampak sepi karena hari Sabtu, sekolah baru ramai jika hari Senin.

Mukhlis menuturkan, sekitar 126 siswa yang jadi anak didiknya merupakan gabungan semua tingkatan sekolah, mulai dari siswa SD, SMP dan SMA.

Meski membina ratusan siswa, namun Mukhlis mengeluh, sebab di sekolah yang ia pimpin saat ini kekurangan tenaga pengajar atau guru. Jumlah guru hanya 14 orang mengangani 126 siswa.

Sehingga, ia berharap, pemerintah bisa menambah jumlah kuota guru untuk sekolah swasta khususnya SLB.

Apalagi, SLB YPAC Anging Mammiri menerima anak didik dari Kecamayan Wajo, Ujung Tanah Biringkanaya atau Makassar bagian utara.

"Kami ingin tenaga guru yang cukup. Apalagi, program pemerintah hanya mengangkat guru untuk sekolah negeri, tapi karena kita (sekolah) swasta jadi kami tidak masuk kategori penambahan guru jadi kami harap pemerintah juga tambah guru untuk sekolah (SLB) swasta," kata Muklis, saat ditemui Kompas.com di sekolah SLB YPAC Anging Mammiri, Sabtu (4/11/2023).

Saat ini, kata Mukhlis, dari 14 guru, hanya ada 6 guru yang berstatus PNS sementara 8 sisanya masih berstatus non PNS atau guru honorer.

Dia mengaku, dalam peraturan pemerintah untuk siswa tuna grahita mestinya maksimal hanya 5 siswa per kelas, tapi di sekolahnya hal itu tidak bisa diterapkan karena kurang guru.

"Di sini 1 kelas kadang 12 siswa karena kekurangan guru, mana banyak guru sudah pensiun, guru-guru hononer yang lulus ditempatkan di sekolah negeri," ujar dia.

Mukhlis menceritakan, untuk proses belajar mengajar di sekolahnya ia sesuaikan dengan kemapuan para siswanya karena prosesnya berbeda dari sekolah pada umumnya.

"Apa yang mereka mampu itu yang diikuti. Proses belajarnya pun perlahan-lahan ditingkatkan sebab jika memberi pelajaran seperti anak normal sangat sulit karena mereka kadang tidak paham," tutur dia.

"Bahkan, saya memberikan pembelajaran bagaimana menyambung kabel, merakit colokan listrik, memasang stop kontak, itu saja, karena kita ikut kemampuan siswa," ungkap dia.

"Sementara siswa SD diajarkan membuat kerajinan tangan dari bahan bekas seperti membuat bunga," sambung dia.

Dari 126 jumlah keseluruhan siswa di SLB YPAC Anging Mammiri, terdapat 13 anak Down Syndrome, 7 anak cerebral palsy tuna daksa 1 orang dan autis.

Sementara anak tuna rungu dan tuna grahita sekitar 50 orang.

Dia menyebut, dari semua kategori, anak autis yang menurutnya perlu perhatian khusus karena beberapa sangat aktif dan tidak mau diam, kadang tantrum, lompat-lompat dan lari-lari.

"Namun, untuk pembelajarannya hampir sama dengan anak sekolah pada umumnya yang beda karena di sini ada program khusus, bagi anak tuna grahita, diajar merawat dan membina dirinya, misalnya diajar mengancing baju sendiri, pakai sepatu," ujar dia.

Untuk mengajar secara maksimal, ia berharap pemerintah bisa menambah kuota guru untuk mengajar di sekolah yang berdiri sejak tahu 1973 atau 50 tahun lalu itu.

Tak hanya itu, Mukhlis meminta kepada pemerintah agar membantu memperbaiki pagar sekolahnya, karena pagarnya terlalu pendek dan dianggap membahayakan sistem keamanan sekolahnya.

"Sistem keamanan sangat tidak aman, pagarnya pendek orang bebas masuk sehingga untuk membuat taman (belajar) tidak bisa karena orang luar datang bebas masuk main bola dan berkeliaran. Saat kita lengah, anak-anak kami yang autis juga kadang lari keluar, kalau kita jaga di pintu dia cari tempat lain makanya mereka harus dijaga esktra," ujar dia.

https://makassar.kompas.com/read/2023/11/06/113235078/bina-126-anak-disabilitas-sekolah-slb-di-makassar-kekurangan-guru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke