Salin Artikel

Lipa Sabbe, Sarung Sutera Khas Bugis dan Filosofi Motifnya

KOMPAS.com - Suku Bugis memang memiliki hasil budaya yang menarik, termasuk kain tradisional berupa sarung yang disebut Lipa Sabbe.

Keberadaan Lipa Sabbe dapat ditemukan di Sulawesi Selatan yaitu di daerah Bone, Wajo, dan Soppeng. Sementarapusat pembuatan Lipa Sabbe ada di Desa Opo, Kecamatan Ajangale, Kabupaten Bone.

Sejarah Lipa Sabbe tak lepas dari kepercayaan Suku Bugis yakni keterampilan menenun yang telah ada sejak zaman nenek moyang.

Keterampilan ini konon ini diilhami oleh sehelai sarung yang ditinggalkan oleh para dewa di pinggir Danau Tempe.

Jika ditelaah dari asal katanya maka dalam bahasa Bugis Lipa Sabbe berarti sarung sutera.

Lipa Sabbe adalah kain sarung tenun berbahan benang sutera yang memiliki corak khas dan biasa digunakan sebagai pelengkap pakaian tradisional Suku Bugis.

Biasanya kain sarung ini digunakan sebagai bawahan, baik untuk kaum pria maupun wanita.

Bagi kaum pria cara pemakaian Lipa Sabbe dalam istilah Bugis disebut dengan ma’bida, dimana sarung dikenakan kemudian pada bagian pinggang dililitkan ujungnya kemudian diikat (dirippung).

Kemudian dikenakan juga talibennang berupa ikat pinggang atau sabuk, yang bisanya dijadikan tempat menyelipkan keris.

Sementara bagi kaum wanita pemakaian Lipa Sabbe dipasngkan dengan Baju Bodo.

Pemakaian Lipa Sabbe untuk wanita adalah dengan mengikat bagian atas sesuai ukuran pinggang dan selebihnya dibiarkan terurai.

Bagian sarung yang terurai akan diletakkan di atas lengan kiri sambil dirapatkan di pinggang (dikikking) supaya tidak jatuh.

Selain cara pemakaian, motif dari Lipa Sabbe juga tidak kalah penting untuk diperhatikan.

Pada masa lalu motif Lipa Sabbe tidak boleh sembarang dikenakan karena memiliki arti tersendiri.

Namun seiring perkembangan zaman, Lipa Sabbe memiliki banyak corak yang pemakaiannya tidak lagi terikat dengan artinya namun dengan waktu dan kondisi pemakaiannya.

Terdapat beberapa motif Lipa Sabbe yang terkenal dan memiliki makna terkait kehidupan masyarakat Bugis.

Motif Balo Renni dengan garis vertikal dan horizontal membentuk kotak-kotak kecil dengan warna lembut dipakai oleh wanita Bugis yang belum menikah.

Motif Balo Lobang dengan garis vertikal dan horizontal membentuk kotak-kotak besar dengan warna tegas lembut dipakai oleh pria Bugis yang belum menikah.

Motif Bombang dengan segitiga sama sisi berjejer atau zigzag adalah motif netral yang menggambarkan jiwa pelaut masyarakat Bugis.

Motif Cobo’ hampir mirip Motif Bombang hanya saja menggunakan segitiga sama kaki dan digunakan pada acara lamaran sebagai tanda keteguhan hati pria untuk melamar gadis pujaan.

Motif Balo Tettong memiliki motif garis vertikal atau garis lurus.

Motif Makkalu memiliki motif garis-garis, horizontal, atau melingkar.

Motif Moppang adalah motif yang telah punah, di mana dahulu digunakan pasangan suami istri dan tabu untuk dikenakan di luar kamar.

Sarung ini dibuat oleh gadis Bugis yang akan menikah untuk nantinya dikenakan dengan sang suami, sehingga berukuran lebih besar dari sarung biasa.

Penggunaannya adalah setelah berhubungan suami istri dan sarung ini tidak pernah dicuci.

Ketika terjadi perceraian atau salah satu dari pasangan tersebut meninggal maka sarung ini akan dibakar.

Sumber:
 kikomunal-indonesia.dgip.go.id  
 warisanbudaya.kemdikbud.go.id  
 makassar.tribunnews.com  

https://makassar.kompas.com/read/2023/01/19/224659178/lipa-sabbe-sarung-sutera-khas-bugis-dan-filosofi-motifnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke