Salin Artikel

"Taki Mi'guru" Kampanye Ajak Anak Korban Gempa di Mamuju Kembali Belajar, Libatkan 136 Relawan

Kampanye tersebut dilakukan untuk memulihkan kegiatan belajar yang sempat terhenti karena gempa bumi pada Januari 2021.

Nandang Cahyono, Koordinator Bidang Perencanaan dan Program Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Mamuju menginisiasi kampanye tersebut.

Ia mengatakan anak-anak yang terdampak gempa cukup lama tidak mengikuti kegiatan belajar karena harus ikut orang tua mereka mengungsi.

Sementara itu kegiatan belajar sebelumnya sudah terganggu oleh pandemi virus corona. Karena kegiatan belajar terhenti, semangat belajar anak-anak makin menurun.

Akhirnya, mereka mulai keranjingan bermain game online atau memilih membantu orang tua bekerja di kebun atau menangkap ikan di laut.

“Ya ini mengkhawatirkan. Jangan-jangan ini bencana ketiganya. Kalau kita biarkan begitu, anak -anak sudah tidak punya semangat belajar lagi. Mari kita ramai-ramai membuat kegiatan kampanye TakiMi’Guru ini,” ujar Nandang Cahyono, yang akrab dipanggil Nando, Selasa (16/3/2021) dilansir dari VOA Indonesia.

Dalam kampanye itu, anak-anak belajar dalam kelompok-kelompok kecil.

Kegiatan belajar dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan tetap mengikuti protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

Taki Mi’Guru juga berupaya meningkatkan peran orang tua untuk mendampingi anak-anak dalam belajar, termasuk peran masyarakat di desa untuk terlibat dalam pemulihan pendidikan pascabencana.

“Ada guru yang rumahnya juga ikut rusak, ikut juga mengungsi sehingga beban psikologisnya ikut mempengaruhi mood dia untuk mengajar. Nah itu yang coba kita bantu. Coba kita isi bersama teman-teman di sini untuk mengisi gap (kekosongan) itu,” kata Nandang Cahyono.

Data Pokja pendidikan menyebutkan dua guru meninggal dan lebih dari 300 guru luka-luka akibat gempa.

Murniani, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Mamuju, mengakui ada penurunan keterlibatan orang tua dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak karena harus mengungsi.

“Kemudian ada juga yang trauma. Anaknya lalu tidak dilepaskan untuk belajar karena ketakutan dan traumanya selama ini,” kata Murniani, Senin (15/3/2021).

Dia menambahkan bencana gempa bumi makin menyulitkan kegiatan belajar di wilayah yang sebelumnya sudah terdampak pandemi COVID-19.

Terbatasnya jaringan internet menyebabkan tidak semua siswa bisa melakukan pembelajaran daring.

Meski ada sekolah di zona tertentu yang diperbolehkan dibuka dengan memenuhi persyaratan tertentu. Namun sebagian besar anak tetap harus belajar dari rumah, baik secara daring maupun luring.

Sayangnya, banyak anak di Indonesia yang tidak mampu belajar daring.

CEO Save the Children Indonesia, Selina Patta Sumbung, dalam pernyataan kepada VOA, Senin (15/3/2021), mengatakan menurut studi global Save The Children pada Juli 2020, di 46 negara khususnya Indonesia, menunjukkan delapan dari 10 anak tidak dapat mengakses bahan pembelajaran yang memadai.

“Empat dari 10 anak kesulitan memahami pekerjaan rumah, dan fakta bahwa minimal satu persen anak tidak belajar apapun selama PJJ,” kata Selina.

Hal ini berimplikasi terhadap pendidikan di Indonesia, seperti menurunnya motivasi belajar dan kembali ke sekolah, menurunnya kemampuan literasi dan numerasi.

Lebih jauh lagi, anak akan kehilangan pembelajaran yang kemudian dapat mempengaruhi perolehan kesempatan mengakses pendidikan tinggi dan pekerjaan, serta menghasilkan pendapatan di masa depan.

Anak, guru, dan orang tua menghadapi tantangan dalam menerapkan PJJ, mulai dari keterbatasan materi dan akses terhadap pembelajaran serta pengajaran.

Termasuk keterbatasan infrastruktur, seperti akses internet dan listrik yang tidak merata.

Tantangan lain adalah keterampilan guru untuk melakukan PJJ, kapasitas orang tua mendampingi anak belajar, serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri.

Selain itu, tantangan terbesar juga adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk anak.

Studi Global Save the Children mendapati bahwa dua pertiga atau 63 persen anak perempuan lebih banyak dibebani tugas rumah, dibanding anak laki–laki yang sebanyak 43 persen.

Hal ini juga relevan dengan pengakuan 23 persen orang tua yang mengasuh dalam kondisi tertekan karena situasi pandemi.

Selain itu, satu dari delapan orang tua menyatakan telah terjadi kekerasan di rumahnya.

Suara anak yang ingin sekolah/madrasah segera dibuka karena takut dikawinkan pun, juga patut menjadi perhatian.

https://makassar.kompas.com/read/2021/03/21/171700478/-taki-mi-guru-kampanye-ajak-anak-korban-gempa-di-mamuju-kembali-belajar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke