Di pusat pemerintahan Hindia-Belanda, dia berlindung sekaligus meminta bantuan VOC untuk
menghancukan Kerajaan Gowa.
Setelah 3 tahun berselang, tepatnya 24 November 1966, terjadi pergerakan besar-besaran yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janszoon Speelman.
Armada laut VOC itu meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke Sombaopu (ibukota Gowa).
Pada 19 Desember 1666, armada VOC sampai di Sombaopu, ibukota sekaligus pelabuhan Kerajaan Gowa.
Awalnya Speelman bermaksud menggertak Sultan Hasanuddin. Namun karena, Sultan Hasanuddin tak gentar, Speelman segera menyerukan tuntutan agar Kerajaan Gowa membayar segala kerugian.
Kerugian yang dimaksud berhubungan dengan pembunuhan orang-orang Belanda oleh Makassar.
Baca juga: Makam Putri Sultan Hasanuddin Terancam Digusur, Ini Penjelasan Pemkab Mempawah
Karena peringatan VOC tidak diindahkan, Speelman mulai mengadakan tembakan meriam terhadap kedudukan dan pertahanan orang-orang Gowa.
Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal VOC dibalas juga dengan dentuman-dentuman meriam yang gencar dilancarkan pihak Gowa.
Maka, terjadilah tembakan-tembakan duel meriam antara armada kapal-kapal VOC dengan
benteng pertahanan Kerajaan Gowa.
Pertempuran hebat terus terjadi, armada VOC dibantu pasukan Kerajaan Bone yang berada di bawah komando Arung Palakka.
Akhirnya tidak kuat menahan gempuran VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667.
Dengan perjanjian itu, Sultan Hasanuddin harus mengakui monopoli VOC yang selama ini ditentangnya.
Selain itu, dia juga harus mengakui Arung Palakka menjadi Raja Bone. Wilayah Kerajaan Gowa pun dipersempit.
Baca juga: Ini Penyebab Atap Bandara Sultan Hasanuddin Keluarkan Asap Tebal
Akan tetapi, semua itu tidak memadamkan semangat juang Sultan Hasanuddin beserta pasukannya.
Perlawanan-perlawanan masih terjadi pasca perjanjian, namun sayangnya tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sehingga, VOC masih mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan.