KOMPAS.com - Sebuah karya sastra asal Sulawesi Selatan yang ditulis ratusan tahun lalu memuat nilai demokrasi, kesetaraan gender, hingga penghormatan pada kelompok transgender.
Sekelompok anak muda tengah berupaya memperkenalkan dan melestarikan karya itu.
Naskah kuno itu adalah La Galigo, yang disebut sebagai karya sastra terpanjang di dunia dan diakui oleh UNESCO sebagai bagian Ingatan Kolektif Dunia tahun 2011 silam.
Baru segelintir dari ratusan ribu bait sastra berbahasa Bugis kuno itu yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena keterbatasan biaya dan sumber daya manusia, kata seorang peneliti.
Menurut peneliti tersebut, sebanyak 12 jilid naskah itu tersimpan di Universitas Leiden, Belanda, dan banyak lainnya yang terserak di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Australia, membuat total panjang naskah itu "masih belum bisa diperkirakan".
Baca juga: Alasan Kisah Cinta Sedarah “I La Galigo” adalah Kisah Klasik GSA
Kata 'La Galigo' memang selalu ada di kepalanya sejak ayahnya menjelaskan padanya bahwa tak hanya Jawa dan Bali yang memiliki karya sastra asli. Sulawesi pun punya karya sastra sendiri, yakni La Galigo.
Namun, pemuda asli Makassar itu tak pernah tahu secara spesifik isi cerita itu, sampai dia kemudian membaca ringkasannya.
"Saya baca dan kaget. Wah, ini kok keren banget ya? Ini ceritanya kayak the Lord of the Rings. Ceritanya kalau dibikin jadi film kolosal bisa banget," kata Louie, merujuk kisah fiksi karya penulis Inggris, JRR Tolkien.
Baca juga: I La Galigo Akhirnya Digelar di Jakarta
"Imajinasinya orang Bugis saat itu gila banget. [Saya] sudah kayak... larut dalam bacaan La Galigo sampai bisa bayangin cerita film fantasi," tambahnya.
Sejak saat itu, Louie mendalami dan meneliti cerita dan tokoh-tokoh dalam La Galigo, yang disebutnya "seakan terlupakan, dormant, dan hibernasi terlalu lama".
Bersama kawannya, Maharani Budi, 30, dan dua temannya yang lain, Louie lalu membentuk 'Lontara Project' untuk memperkenalkan La Galigo pada kalangan anak muda.
Hal itu didorong pula oleh keinginan mereka untuk melawan stigma 'gemar tawuran' yang menempel pada pemuda Makassar, dengan memperkenalkan sesuatu yang positif dari tanah Sulawesi.
Baca juga: Persiapan I La Galigo Sebelum ke Panggung
Sejak 2011, mereka mengumpulkan relawan-relawan untuk berpartisipasi dalam sejumlah proyek mempromosikan La Galigo melalui medium musik, desain grafis, hingga diskusi-diskusi.
Awal tahun depan, mereka berencana meluncurkan sebuah buku visual La Galigo yang menyasar anak muda.
"Kami rencananya mau merangkum isi-isi La Galigo yang kami pelajari selama 10 tahun belakangan dalam bentuk buku, yang kami sebut mini ensiklopedia La Galigo."
Baca juga: I La Galigo Digelar di Jakarta Awal mei
"Tentunya dengan bahasa yang lebih menarik untuk generasi muda dan disertai 1001 visualisasi untuk memudahkan pembaca," kata Maharani.
Interpretasi seni La Galigo sendiri sebelumnya sudah ditampilkan oleh sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson.
Ia menggelar pertunjukan teater di AS, beberapa negara Eropa, Asia, dan di Jakarta tahun 2019 lalu.
Baca juga: I La Galigo Kisah Asli Indonesia
Ia menjelaskan karya yang diperkirakan sudah ada sejak abad-14 itu, awalnya diceritakan secara tutur, kemudian ditulis di lembaran-lembaran daun lontar.
Karya itu, katanya, menggambarkan sifat perantau dan karakter khas orang Bugis "dengan segala kelebihan dan kekurangannya".